Tatkala Kedaulatan Negara Diacak-acak Negara Tetangga
Mantan Kontraktor Badan Pertahanan Nasional Amerika Serikat (NSA), Edward Snowden membocorkan sejumlah dokumen rahasia yang dimiliki Amerika Serikat dan Australia.
Yang mengejutkan, Australia sebagai negara sahabat justru melakukan penyadapan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan sejumlah petinggi negara lainnya.
Berita penyadapan intelijen Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan beberapa pejabat lain yang dilansir surat kabar the Guardian kemarin masih dianggap angin lalu oleh pihak Australia.
Bahkan Perdana Menteri Australia Tony Abbott menolak untuk mengomentari tuduhan bahwa badan intelijen Australia telah menyadap komunikasi Presiden SBY pada 2009.
Abbott mengatakan kepada parlemen Australia bahwa semua pemerintahan mengumpulkan informasi dan semua pemerintahan tahu bahwa setiap negara mengumpulkan informasi, tetapi dia tidak akan memberikan komentar terkait insiden yang dituduhkan itu, seperti dilansir situs zdnet.com, Senin (18/11).
"Pemerintah Australia tidak pernah berkomentar pada masalah intelijen tertentu, ini telah menjadi tradisi lama kedua pemerintahan terkait kepercayaan politik, dan saya tidak bermaksud untuk mengubah itu pada hari ini," kata Abbott.
Abbott mengatakan bahwa tugas pertamanya adalah untuk melindungi warga Australia dan memajukan kepentingan nasional, dan karena itu dia tidak akan menyimpang dari tugasnya.
Sementara itu profesor hukum dari Universitas Sydney, Simon Butt, ikut berkomentar soal penyadapan yang dilakukan negaranya terhadap Presiden dan sejumlah pejabat di Indonesia. Sepengetahuan dia, penyadapan tersebut bukan masalah penting bagi masyarakat negeri Kanguru itu.
"Tapi masyarakat di sana (Australia) melihat isu ini sebagai isu hubungan antar dua negara. Tidak terlalu signifikan, memang ini isu hangat di sejumlah media, tapi buat kami oh okay," kata Simon Butt di hotel Royal Kuningan, Jakarta, Senin (18/11).
Menurut Butt masih banyak isu lain yang menjadi perhatian masyarakat Australia. "Masih banyak yang harus diperhatikan seperti imigrasi, ekonomi, dan lainnya. Jadi ini ke arah masalah yang berisiko dan harus diselesaikan kedua negara," tutup dia.
Diketahui, berdasarkan dokumen Edward Snowden, pembocor rahasia Badan Keamanan Amerika (NSA), menunjukkan intelijen Australia telah menyadap pembicaraan telepon SBY selama 15 hari di bulan Agustus 2009.
Data itu berasal dari Agen Intelijen Elektronik Australia (Defence Signal Directorate sekarang berubah menjadi Australia Signals Directorate).
Tidak hanya itu, berdasarkan laporan tersebut, penyadapan juga ditujukan bagi pejabat dan orang dekat SBY, seperti Ani Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, mantan Wapres Jusuf Kalla, Juru Bicara Presiden Dino Patti Djalal dan Andi Mallarangeng. Selain itu Australia juga menyadap Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menko Ekuin Sri Mulyani, Menko Polhukam Widodo AS, dan Menteri BUMN Sofyan Djalil.
Rakyat Kok Ga Marah?
Anehnya, ketika orang nomor satu di Indonesia itu disadap, tak ada gerakan massa atau pun bentuk protes masyarakat kepada Australia. Yang ada hanya segelitir elite parlemen dan pejabat negara tampak mengecam tindakan ilegal itu.
Mungkinkah rakyat sudah antipati dengan SBY?
Pandangan lain diungkapkan oleh Wasekjen Partai Demokrat, Ramadhan Pohan. Menurut dia, rakyat tentu saja ikut marah dengan adanya penyadapan ini. Sebab, kata dia, betapa pun bedanya pandangan di dalam negeri, namun jiwa nasionalisme rakyat tetap ada.
"Saya kira presiden sebuah simbol negara dan Ibu Ani, Ibu negara, siapa pun orang Indonesia di dalam kita boleh beda policy, beda pendapat tentang presidential threshold, DPT tapi keluar dalam soal nasionalisme kita satu bahasa," ujar Ramadhan di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (19/11).
Dia menilai wajar jika rakyat marah. Karena penyadapan sudah dirasa melanggar kedaulatan bangsa. Apalagi, kemerdekaan Indonesia diperoleh bukan dengan cara yang mudah.
"Indonesia merebut kemerdekaan bukan dikasih, banyak korban di sana, itulah menyebabkan nasionalisme kita gampang tersulut, tegas tapi terukur sudah tepat," ungkap dia.
Dia menambahkan, sikap tegas Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang menarik Dubes RI di Australia adalah refleksi kemarahan rakyat.
"Seorang Marty sebagai Menlu sudah merefleksikan pikiran dan suasana batin rakyat Indonesia," kata dia.
Pertanyaannya, rakyat mana yang marah ketika mendengar Presiden SBY disadap?
Tentu isu ini berbeda ketika negara tetangga seperti Malaysia mengklaim lagu-lagu daerah Indonesia sebagai lagu nasional mereka. Rakyat marah, demonstrasi massa dilakukan di depan Dubes Malaysia.
Hal lain ketika TKI disiksa di negara Malaysia, gerakan massa, demonstrasi, kecaman dan protes keras masyarakat juga dilakukan sejumlah elemen masyarakat. Namun soal penyadapan, nampaknya rakyat tak begitu peduli dengan isu ini.
(*/rilis:merdeka)
Komentar
Posting Komentar