Mengapa Aceh Begitu Bergelimpangan ‘Koin Emas’?
Ratusan bahkan ribuan keping koin emas ditemukan di Kuala Krueng Doy, Gampong Pande, Banda Aceh. Di balik heboh warga setempat yang ramai-ramai berburu dan memperjualbelikan koin tersebut. Tak hanya koin, sejumlah peninggalan berupa pedang yang juga dilapisi dengan emas.
Tersisa pertanyaan, mengapa ada begitu banyak koin yang dengan mudah ditemukan?
Sejarawan Aceh, Drs Rusdi Sufi, Rabu (13/11/2013), dikutip dari tribunnews mengatakan, ada dua kemungkinan peristiwa yang menyebabkan koin-koin di dalam sebuah kaleng yang sudah keropos itu didapati berada di dasar tambak seorang warga Dusun Tgk Dikandang, Gampong Pande, Banda Aceh.
Kemungkinan pertama, kata Rusdi Sufi, koin emas yang merupakan mata uang dirham itu milik keluarga kerajaan dari salah satu sultan di Aceh, mengingat Gampong Pande dulunya adalah pusat Kerajaan Aceh.
Saat tentara Belanda menyerang Banda Aceh (dulu bernama Koetaradja) pada akhir Maret 1873, mereka masuk melalui Pantai Cermin. Kawasan ini tak begitu jauh dari Gampong Pande.
Karena gempuran dari arah laut itu sifatnya mendadak, sultan Aceh saat itu, Alaidin Muhammadsyah, dan keluarga kerajaan, termasuk pandai emas, pandai besi, dan penduduk Gampong Pande buru-buru mengungsi ke tempat aman, yakni Dalam Darud Dunia. Lokasinya di sekitar Pendapa (Meuligoe) Gubernur Aceh sekarang.
Rusdi Sufi memperkirakan, pada saat terjadinya eksodus warga dari Gampong Pande ke Dalam itulah si pemilik koin-koin emas tak sempat lagi menyelamatkan barang berharga tersebut sehingga tertinggal di lubang tempatnya selama ini ditanam atau disembunyikan, sampai kemudian pada Senin lalu ditemukan oleh pencari tiram.
Hingga awal Januari 1874, Gampong Pande berhasil diduduki Belanda, di samping mereka berhasil merebut Meuraxa dan Masjid Raya Baiturrahman. Kondisi ini tak memungkinkan penduduk Gampong Pande yang tadinya mengungsi ke Dalam Darud Dunia bisa segera kembali lagi ke Gampong Pande.
Sultan Alaidin Muhammadsyah saat itu harus mengungsi lagi dari Dalam ke Pagar Air (Pagarayee) dan akhirnya mangkat di sana pada Januari 1874 karena diserang kolera.
Dugaan kedua, kata Rusdi Sufi, koin-koin emas yang tersimpan dalam kaleng itu merupakan milik keluarga istana yang berlokasi di Gampong Pande pada abad ke-19. Namun, karena ada peristiwa alam, yakni naiknya air laut ke kawasan Gampong Pande —Rusdi menyebutnya sejenis tsunami— maka penghuni Gampong Pande lari berpencar, di samping ada yang menjadi korban.
Rusdi memperkirakan, pada saat itulah kaleng berisi koin-koin emas hanyut dan bergeser jauh dari tempatnya semula disimpan, lalu tertimbun oleh sedimen lumpur.
Rusdi tidak bisa memastikan sebab mana yang dominan dari dua kemungkinan itu. Ia hanya menyarankan perlu dilakukan riset dan analisis kepurbakalaan oleh arkeolog di lokasi temuan koin-koin emas itu untuk menjawab banyak hal tentang misteri ratusan koin emas yang diyakini sebagai mata uang Kerajaan Aceh itu.
Rusdi juga menambahkan bahwa peristiwa ditemukannya koin emas dan koin timah dalam jumlah banyak bukanlah hal baru di Aceh. Pada 1949, katanya, di Gampong Bineh Blang, Pagar Air, Aceh Besar, pernah ditemukan dua peti berisi koin emas dan koin timah, saat warga menggali rumpun pohon pisang.
Taburan koin emas di samping kerangka manusia juga pernah ditemukan saat dilakukan penggalian Gunongan di dekat Pinto Khop (Taman Putroe Phang saat ini). Tentara Belanda juga menguras lempeng emas di sejumlah makam raja-raja Aceh dalam Kompleks Makam Kandang XII (kawasan Kraton saat ini).
Dan Rusdi yakin, koin emas (dirham), termasuk benda-benda bersejarah lainnya, masih bisa didapatkan jika dilakukan penggalian intensif di area cagar budaya Gampong Pande. (*/trib/kmp)
Komentar
Posting Komentar