Cut Nyak Dhien dan Kisah Cintanya
“Mengungsilah! Semoga Allah melindungimu. Tujuh puluh pengawal bersenjata aku tinggalkan untuk menemanimu. Sekalian mereka itu adalah kawan-kawan terpilih yang setia. Sekiranya kita tidak bertemu, kawan yang tujuh puluh orang itulah yang akan bersamamu berjuang di jalan Allah...”
Penulis M. Adli Abdullah (*
Itulah pesan akhir Ibrahim Lam Nga' pada isteri tercintanya, Cut Nyak Dien. Dan perjuangan Ibrahim mempertahankan tanah airnya, makin menambah rasa cinta isterinya Cut Nyak Dien. Serpihan sejarah kisah cinta dua pejuang sejati itu dikisahkan dalam buku M.H. Szekely-Lulofs, seorang puteri Lulofs, yang pernah bertugas di Sumatra Utara.
Kisah cinta heroik itu dapat dibaca dalam buku Tjoet Nya Din : Riwajat Hidup Seorang Puteri Atjeh yang kemudian diterjemahkan A. Muis, setelah beberapa tahun Indonesia merdeka.
Ketika itu 26 Desember 1875, Belanda menyerang Lam Padang tempat kediaman resmi mareka, Ibrahim mengungsikan ibunda mertuanya dan Cut Nyak Dien ke Montasik. Itulah pertemuan terakhirnya dengan sang isteri hingga Ibrahim terbunuh pada malam tanggal 29 Juni 1878 di Glee Taroen.
Pada malam itu, sedang terjadi musyawarah di Gle Taroen untuk mempersiapkan pengepungan kembali Krueng Raba, pos Belanda yang terpenting di pesisir barat (Van Veer, Perang Aceh, 93).
Ketika itu semua petinggi diundang untuk hadir seperti Teuku Bait Budiman, Nyakman, Teuku Rajoet, Imueng Lueng Bata, Panglima Polem, Tuanku Hasyim, Tuanku Raja Keumala. Di dalam pertemuan tersebut yang “berhalangan hadir” adalah Teuku Bait Budiman dan Habib Abdurrahman.
Sampai pada tengah malam ketika Ibrahim dan pemimpin pemimpin Aceh lagi berkumpul datanglah pasukan Belanda yang di pimpin oleh Jenderal Van Der Hiejden sehingga Ibrahim Lamnga, Teuku Rajoet, dan Panglima Nyakman syahid di Gle Taroen. Mereka akhirnya dimakamkan di Mesjid Montasik. Sedangkan Habib Abdurrahman dan Teuku Bait Budiman lagi mengatur siasat untuk penyerahan diri mareka kepada Belanda.
Cut Nyak Dien merasakan kepiluhan. Ia seperti tak percaya kalau suami tercinta terbunuh. Ayahnya Nanta Setia mencoba menenangkan hati putrinya.
“...Sabarkanlah hatimu, anakku! Teguhkan iman! Ia telah Sahid, telah memenuhi tugas...!”
Dalam buku M. H Szekely-Lulofs itu, diceritakan bagaimana Tjoet Nya Din makin menjadi-jadi. "Lalu bersimpuhlah ia di tanah, di tanainya (dipangku, red) kepala Ibrahim, dan diletakkannya diatas pangkuannya.
Dan berkatalah ia dengan sesak nafas kepada ayahnya:
Setelah ia tak ada lagi, setelah suamiku ini berpulang ke Rahmatullah, tunjukkanlah kepadaku wahai Ayahku! Hendak kemanakah aku menyangsangkan diri...? Kemanakah aku hendak bergantung?
Dan jika aku terpaksa memilih suami pula, diantara sekalian orang laki-laki, tak akan ada seorang pun yang akan kucintai sebagaimana aku telah mencintainya,
"...Dan meskipun aku akan dapat memilih diantara seratus orang laki-laki yang patut akan menjadi suamiku, Namun yang seorang ini tidak akan dapat diganti, Walau dengan seratus orang sekalipun tidak mungkin!
Hanya kepada yang seorang inilah cintaku akan melekat, hanya kepada Ibrahim sahaja, suamiku..., kekasihku!”
Kisah cinta Ibrahim Lamnga dengan Cut Nyak Dhien adalah romantisme di blantika perjuangan Aceh. Namun Ibrahim Lamnga yang sangat ditakuti Belanda sendiri seperti hilang dalam deretan nama pahlawan Nasional Indonesia.
Selama ini kita hanya mengenal nama Cut Nyak Dhien bersama suami kedua Teuku Umar. Bahkan Eros Djarot sudah pernah membuat film Cut Nyak Dhien, namun sayangnya, sosok dan alasan utama Cut Nyak Dhien maju ke medan perang tidak muncul sama sekali.
Menurut sejarah, ketika pernyataan perang kerajaan Belanda terhadap kerajaan Aceh pada tanggal 26 Maret 1873 yang dibacakan oleh Komisaris Pemerintah Belanda, J.F. Nieuwenhuijzen di atas kapal Citadel van Antwerpen.
Sultan Alaidin Mansursyah memutuskan menghadapi ancaman Belanda dengan semangat jihad, dan segenap lapisan rakyat diserukan ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kehormatan dan kedaulatan dari setiap serangan. Dan satu persatu pahlawan negeri maju ke medan perang melawan Belanda, termasuk Teuku Ibrahim Lamnga, suami Cut Nyak Dhien.
Dan saya yakin banyak di antara kita tidak pernah tahu dimana pusaranya sampai hari ini yang terbaring di samping mesjid Montasik.
Teuku Ibrahim Lam nga menikahi Cut Nyak Dhien pada tahun 1862 ketika Cut Nyak masih berumur 12 tahun. Saat Belanda menyerang Kerajaan Aceh Darussalam itu, Cut Nyak Dien tidak dibawa ke medan perang tetapi dilindungi dan diungsikan ke daerah aman oleh Teuku Ibrahim Lamnga dan ayahnya Nanta Seutia. Ibrahim Lamnga merupakan martir perlawanan yang sangat ditakuti musuh dan dihormati kawan.
Seperti kita simak dalam sepenggal pidatonya ketika menggelorakan perang terhadap Belanda di depan para pembesar Aceh, di antaranya tercatat mertuanya Nanta Setia Teuku Hoesin, Teungku Imuem Lueng Bata, Teuku Panglima Polem, Teuku Along (Abang Panglima Polem), Teuku Purba, Raja Pidie s eperti ditulis M.H. Szekely-Lulofs.
“Bahwa kami sampai kepada detak jantung yang penghabisan akan tetap memperjuangkan kemerdekaan Atjeh...!”.
Maka dengan gembira ia menyambung kata-katanya pula :
“Hai budjang! Hai anakku! Laki-laki engkau! Ayahmu, Datukmu laki-laki pula! Perlihatkanlah kedjantananmu itu!
Orang “kaphe” hendak mendjadjah kita, hendak memperbudak kita, hendak mengganti agama kita dengan agamanja, agama kafir...!!.
Sebudi akalmu, dengan seada-ada tenagamu, pertahankanlah hak-hak kita, orang Atjeh...!.
Pertahankanlah agama kita, agama Islam, wahai anakku! Turutkanlah djedjak ayahmu, menjambut kedatangan “kaphe”, dan mengusir mereka keluar batas Atjeh...!!”.
Pidato Teuku Ibrahim Lamnga itu telah mengkobarkan semangat para pejuang Aceh untuk mengusir Belanda. Ketika terjadi pendaratan pertama Belanda pada tanggal 26 Maret 1873, pimpinan pasukan Kohler harus menghembuskan nyawanya setelah sebutir peluru menebus dadanya dan tewas di depan Mesjid Raya Baiturrahman, setelah dia membakar mesjid yang bersejarah tersebut pada tanggal 14 April 1873.
Ibrahim bersama teman temannya Panglima Nyak Man, Teuku Along, Teungku Imuem Lueng Bata, Nanta Setia,Teuku Rajoet (abang Cut Nyak Dien), terus bergerilya dan berperang dengan Belanda.
Kemudian, Habib Abdurrahman datang dari Pulau Penang bersama 2000 pasukannya untuk bergabung di Aceh Besar. Pada awal Bulan Februari 1878 pasukan Aceh berhasil merebut kembali Krung Raba Lhoknga. Dan sempat membuat kucar kacir pasukan Jenderal van der Heyden.
Teuku Umar abang sepupunya Cut Nyak Dien, kemudian mereka menikah dan melanjutkan perjuangan Ibrahim. Cut Nyak Dhien yang tak pernah menyerah, kemudian ditangkap Belanda dan meninggal pada tanggal 6 November 1908 di Sumedang.
Cut Nyak Dien wafat yang berstatus isteri ketiga dari Teuku Umar. Sebelumnya Teuku Umar menikahi Nyak Sapiah, puteri Ule Balang Glumpang; dan Nyak Maligo, puteri Panglima Sagoe 25. Mereka bersama sama berjuang mempertahankan agama dan tanah airnya.
Kisah cinta dan perjuangan Cut Nyak Dhien adalah sejarah pahit dan kepedihan panjang. Ia kawin dengan pejuang lalu ditawan di negeri orang, dan mati dalam kesepihan. Namun satu yang tetap hidup, yaitu kesetiaan atas tanah air meskipun dengan menggadai nyawa.
Perjuangan dan cintanya bukan sebatas kijang Inova. Demikian pula, Teuku Ibrahim Lamnga yang perjuang penuh getir hingga terbunuh akibat pengkhianatan.
Dan apa yang diperankan Christine Hakim dalam film Cut Nyak Dhien dan Eros, hanya secuil dari fakta sejarah itu sendiri. Bagi para mujahid itu, zaman boleh berganti, tapi perjuangan tak pernah mati. Dari kisah itu, kita generasi Aceh sekarang seharusnya berkaca. Damailah kalian pahlawan kami.
*arsip Atjehcyber | 2011/7 | Sejarah
Komentar
Posting Komentar