Aceh Jangan Tunduk oleh Tekanan Asing







Diberlakukannya Syariat Islam di Aceh sebagai hukum resmi menjadi fenomena hukum positif di Indonesia. Sebelum secara resmi diberlakukan muncul banyak kekhawatiran baik dari masyarakat Aceh sendiri maupun di luar bahwa pelaksanaan syariat (qanun) tersebut akan sangat kejam dan menakutkan. Namun semua kekhawatiran itu tidaklah terbukti.





Kekawatiran muncul terutama dari kalangan pegiat hak asasi manusia (HAM) baik dalam maupun luar negeri. Alasan mereka klasik bahwa syariat Islam sudah tidak relevan dengan peradaban manusia.





Akibat rasa khawatir berlebihan dari Barat, ujungnya munculnya desakan baik dari individu hingga lembaga agar syariat Islam tidak diberlakukan di Negeri Serambi Mekah itu.





Lebih jauh phobia mereka beralasan jika syariat Islam berlaku di bumi Aceh maka akan memunculkan kecemburuan di wilayah lain di Indonesia untuk ikut menerapkan juga syariat Islam, meski dengan kondisi sosial budaya yang berbeda.





Salah satu bukti intervensi Barat, Human Rights Watch melakukan tekanan terhadap pemerintah Indonesia, di mana organisasi internasional itu menekan pemerintah RI. untuk membatalkan undang-undang ‘qanun’ yang telah berlaku di Aceh. Tindakan ini merupakan bentuk campur tangan yang tidak dapat diterima.





Sebab, lahirnya ‘Qanun’ yang sekarang diterapkan di Aceh, memiliki landasan yang kuat, yaitu Undang-Undang No.18/Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus Aceh, dan telah disyahkan DPR-RI, yang mengatur kehidupan di Aceh.





Menurut Human Rights Watch Peraturan Daerah Syariat Islam di Aceh melanggar hak asasi manusia. Qanun di Aceh mendiskriminasi perempuan dan membuka peluang terjadinya kekerasan massal dengan dalih menegakkan syariat Islam.





Laporan yang disusun Christen Broecker, peneliti Divisi Asia Human Rights Watch, menyoroti Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum) dan Qanun Nomor 11/2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam dalam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam. Benarkah semua laporan Human Right Watch itu?





Muncul Istilah ‘Dinul Islam’





Reaksi kritis terhadap penggunaan istilah ‘Dinul Islam’ oleh Pemerintah Aceh untuk menyebut pelaksanaan syariat. Bahkan, muncul pula anggapan istilah Dinul Islam ini sengaja dipopulerkan karena adanya tekanan dari pihak asing yang alergi terhadap istilah syariat. Ketua Departemen Riset Rabithah Thaliban Aceh (RTA), Teuku Zulkhairi MA, dalam siaran persnya, Selasa (26/11).





Teuku Zulkhairi mengatakan, penghilangan kata-kata syariat adalah bentuk tekanan Pemerintah Aceh pada kemauan asing. “Ini menimbulkan kesan bahwa Pemerintah Aceh, Dinas Syariat Islam, dan beberapa anggota DPRA kurang kerjaan, sibuk mengurus istilah saja sehingga kita harus kembali ke nol lagi,” ujarnya.





Menurutnya, anggapan bahwa istilah syariat terkesan kejam dan akan membuat investor enggan masuk ke Aceh, sangat tidak bisa diterima oleh logika sehat. “Pemerintah harus sadar bahwa mereka tidak akan senang kepada kita sebelum kita mengikuti agama mereka,” kata Zulkhairi.





“Pemerintah Aceh harus melihat pengalaman Turki, walaupun secara resmi pemerintah Turki masih berlaku sistem sekuler, tidak menerapkan syariat Islam, tapi kelompok Islam yang berkuasa di Turki tetap dituduh radikal, hanya karena mendukung kebebasan berjilbab dan melarang peredaran minuman keras secara bebas,” imbuhnya.





Pimpinan Dayah Pesantren Baitul Arqam Sibreh, Tgk Mulyadi Nurdin Lc MH, mengingatkan Pemerintah Aceh untuk mengkaji kembali pemakaian istilah Dinul Islam dalam penerapan syariat Islam di Aceh. Menurutnya, istilah Dinul Islam tidak boleh sampai menggantikan penggunaan kalimat syariat Islam secara menyeluruh, karena akan rawan dipakai untuk menyerang agama Islam.





Ia menjelaskan, Dinul Islam artinya agama Islam, yang merupakan ajaran Islam secara keseluruhan. Agama Islam terdiri dari tiga komponen, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak, dengan sumber ajaran Alquran, Hadits, ijmak, dan qiyas.





“Sedangkan syariat merupakan bagian dari Dinul Islam yang berisi aturan tentang ibadah, muamalat, serta jinayah (pidana). Secara formal, istilah syariat relevan dipakai dalam tatanegara karena di dalamnya berisi aturan-aturan hukum,” ujar alumni Al-Azhar Mesir ini.





Ia menambahkan, selama ini kritikan terhadap syariat Islam di Aceh banyak bermunculan, tetapi belum berarti itu sebagai kritikan kepada agama Islam (Dinul Islam). Karenanya, kata Mulyadi, pemerintah perlu berhati-hati dalam mempopulerkan penggunaan istilah Dinul Islam dalam pelaksanaan syariat.





Kehancuran Moral dan Terjangkitnya Penyakit Sosial





Sesungguhnya diberlakukan Qanun Syariah itu, justru di Aceh sekarang telah lebih baik kondisinya, serta kehidupan moral masyarakat menjadi terjaga.





Tuntutan Pihak Asing justru akan menciptakan kekacauan yang mengarah kepada kehancuran kehidupan di Aceh, karena dengan melonggarkan kehidupan, dan dibiarkannya kehidupan yang bebas, maka Aceh akan seperti daerah-daerah lainnya.





Sekarang di kota-kota besar di seluruh Indonesia telah dijangkiti penyakit sosial, berupa penyakit moral, akibat adanya pelanggaran moral. Seperti melakukan zina, minum, pacaran dengan bebas, yang mengarah sek bebas, munculnya gigolo, serta praktek-praktek pelacuran yang 'dilegalkan' ada setiap sudut kota.





Catatan Sejarah, sejak pertama Republik ini lahir, Aceh telah diterapkan otonomi khusus, yaitu adanya syariah Islam, seperti yang menjadi aspirasi rakyat Aceh. Ini merupakan bentuk ‘obligasi’ (perjanjian) antara pemerintah pusat yang waktu dipimpin Presiden Soekarno dengan para pemimpin Aceh. (*/hid/srmb)























Komentar

Postingan populer dari blog ini

FOTO: Begini Foto Hitam-Putih disulap ke Warna Asli

Penulis Kondang Spanyol: “Wajar Bangsa Yahudi Selalu Terusir”

FOTO-FOTO: Anjing Ajaib Ini Bisa Berdiri di Atas Tali