Malu (aku) Jadi Orang Indonesia
*Suryopratomo
BAGAIMANA tidak malu kalau berita utama koran-koran dunia mengangkat kasus korupsi yang dilakukan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Mulai dari Arab hingga Amerika Serikat, mulai dari Eropa hingga Australia, berita korupsi Akil Mochtar ditulis besar-besar lengkap dengan fotonya.
Kita semakin malu melihat sikap para pemimpin kita yang sama sekali tidak gentleman. Akil Mochtar masih menyangkal melakukan korupsi dan menolak mengenal dua orang tamu yang bertandang ke rumahnya dengan membawa amplop berisi valuta asing.
Begitulah sikap dari umumnya pemimpin kita yang tidak pernah berani bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Mereka selalu mengelak dari tanggung jawab dan mencoba mencari kambing hitam atas perbuatannya.
Kita tentu bukan bermaksud menghukum orang tanpa proses peradilan. Hanya saja pada diri seorang pemimpin ada yang namanya kehormatan. Seorang pemimpin harus menjunjung tinggi etika dan bahkan menempatkan Etika di atas hukum.
Itulah yang dilakukan para pemimpin dunia. Presiden Jerman Christian Wulff langsung meletakkan jabatannya ketika dituduh menerima perlakuan istimewa saat mengajukan pinjaman ke bank saat menjadi perdana menteri di sebuah negara bagian di Jerman. Bahkan Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun memilih bunuh diri ketika dituduh terlibat dalam kasus korupsi.
Pada diri seorang pemimpin bukan hanya kehormatan yang harus dinikmati. Di balik kehormatan ada tanggung jawab yang harus ia berani untuk dipikul. Untuk itulah selalu dikatakan noblesse oblige, di balik kehormatan selalu ada tanggung jawab.
Prinsip itulah yang tidak dimiliki dan dihayati oleh para pemimpin kita. Mereka hanya mau menikmati haknya, tetapi tidak pernah mau menjalani kewajibannya. Mereka tidak malu bahwa seluruh hidupnya dibayar oleh keringat rakyat, malah mereka mengkhianati kehormatan yang diberikan rakyat kepadanya.
Sungguh tidak masuk akal jika seorang pemimpin masih bisa berdalih atas sesuatu yang absurd. Seakan-akan rakyat merupakan sosok yang tidak memiliki logika. Dengan seenaknya ia menyangkal atas sesuatu yang bagi rakyat jelas sebuah kebohongan yang menjijikkan.
Bagaimana seorang Akil Mochtar bisa berdalih tidak mengenal orang yang datang ke rumah dinasnya, sementara orang itu ia terima di ruang tamu. Kalau memang ia tidak mengenal tamunya, pasti ia tidak akan mengizinkan petugas keamanan yang menjaga rumahnya untuk masuk ke rumah dinas Ketua Mahkamah Konstitusi.
Jauh lebih baik bagi Akil Mochtar untuk meminta maaf kepada rakyat atas pengkhianatan yang telah ia lakukan. Bahkan jauh lebih terhormat apabila sebagai bagian dari tanggung jawabnya, ia menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi dan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Akil Mochtar seharusnya menyadari bahwa ia bukan hanya telah mencoreng nama baik institusi yang dipimpinnya, tetapi juga melempar aib kepada seluruh bangsa ini. Bagaimana kita sebagai bangsa Indonesia bisa bangga di antara bangsa dunia kalau yang menjadi berita utama koran-koran dunia salah satu pemimpin tertinggi di negara kita tertangkap tangan melakukan korupsi.
Perbuatan Akil Mochtar membuat runtuhnya penegakan demokrasi dan pilar konstitusi. Kepercayaan rakyat terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi berada di titik paling nadir. Tidak ada lagi yang bisa dijadikan pegangan ketika terjadi sengketa berkaitan dengan konstitusi dari negara ini.
Kita tidak tahu lagi bagaimana mengembalikan kredibilitas dari institusi produk reformasi ini. Majelis Kehormatan memang coba dibentuk untuk menyelamatkan Mahkamah Konstitusi. Namun kita ragu bahwa lima tokoh yang diberi kepercayaan itu bisa memulihkan nama baik Mahkamah Konstitusi.
Kepercayaan rakyat sudah terlanjur terkoyak. Kita pun bahkan bertanya, apakah ini hanya sebuah kasus yang khusus ataukah perbuatan tercela itu sudah terjadi secara sistemik di dalam tubuh Mahkamah Konstitusi? Akil Mochtar hanyalah salah seorang dari Hakim Konstitusi yang biasa mempermainkan kasus untuk kepentingan uang.
Begitu banyak keputusan yang janggal telah dilahirkan Mahkamah Konstitusi. Selama ini kita memaklumi karena manusia bisa saja alpa. Kita menerima kejanggalan itu semata-mata karena masalah teknis, bukan karena persoalan yang fundamental yakni dipesan oleh pihak-pihak tertentu.
Sekarang semua tanda tanya itu wajar jika muncul kembali. Seberapa yakinkah bahwa kesalahan yang dilakukan bukan disebabkan oleh permainan uang? Kalau ada lebih 300 kepala daerah yang terlibat kasus korupsi, bukankah sebagian dari itu akibat dari penetapan kepala daerah yang juga dinodai praktik korupsi?
Kita sungguh membutuhkan tindakan radikal untuk mengembalikan kekacauan sistem ketatanegaraan yang tengah terjadi sekarang ini. Tanpa itu keadaan akan bisa semakin chaotic dan kita semakin malu menjadi bangsa Indonesia. Puisi Taufiq Ismail rasanya perlu kita dengar lagi, "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia".
Komentar
Posting Komentar