Kisah Cinta dalam Perang Sabil






(Diangkat dari Peristiwa Perang Aceh, “Tak Ingin Bidadari...”)




*Oleh Sayf Muhammad Isa (*






Akan kuceritakan kepadamu sebuah riwayat penuh pesona, tentang cinta.







Ketika itu Pelabuhan Ulee Lheu bersemu emas senja. Matahari dihisap lautan dan kian menghilang. Pelabuhan yang ramai di Banda Aceh itu mulai ditinggalkan orang-orang yang kelelahan bekerja seharian. Semenjak zaman Sultan Iskandar Muda pelabuhan itu sudah menjadi tempat berniaga orang-orang dari banyak negara. Hingga hari itu, di abad ke-19, saat bencana terus merayap, perlahan tapi pasti, hendak menghancurleburkan tanah Aceh.






Di Pantai Ceureumen, tak jauh dari pelabuhan, duduklah dua orang pemuda yang bernama Syarif dan Husin. Sore itu keringat bercucuran di sekujur tubuh mereka sebagaimana biasa, sebab mereka adalah kuli di pelabuhan yang ramai itu. Butiran pasir pantai mengusap-usap hidup mereka yang getir.



Mereka miskin, yatim piatu, sebatang kara, namun itu semua tak kuasa mengusir senyum dari wajah mereka, dan hidup mengalir dengan kesyukuran untuk semua yang telah dianugerahkan Tuhan. Angin membelai wajah mereka yang masih muda, yang teguh tegar dipukul nasib. Dan melepas penat dalam senja di Pantai Ceureumen menjadi kekayaan teragung bagi mereka, yang lebih berharga dari harta sepenuh dunia.






“Lihatlah itu, Husin,” telunjuk Syarif teracung, menunjuk kepada sesuatu di tengah lautan.“Kapal-kapal Belanda itu sudah tiga hari mengapung di situ. Tak bergerak sama sekali. Apa yang sebenarnya mereka mau?”






“Memang agak aneh juga,” sahut Husin. Matanya menatap kepada bendera tiga warna Belanda yang berkibar di tiang kapal itu. “Tapi biarkan sajalah, yang penting mereka tidak mengganggu kita.”







“Dari kabar-kabar yang kudengar ada utusan Belanda yang menghadap Sultan. Hendak membuat perjanjian.”








“Aku rasa tentang persoalan perbatasan dengan wilayah-wilayah di selatan yang kabarnya sudah banyak yang berada di bawah penguasaan Belanda.”







“Mereka seenaknya saja mencaplok wilayah-wilayah Aceh.”







“Semoga semuanya baik-baik saja,” Husin menatap wajah sahabatnya lalu tersenyum. “Bagaimana perasaanmu? Pernikahanmu tak lama lagi!”








“Ah, tak tahulah, Husin,” sahut Syarif. Ia tersenyum tipis. Matanya tetap kepada kapal-kapal Belanda yang teguh itu. “Semua perasaan campur aduk menjadi satu.”







“Tapi kau senang kaaan?” Husin tersenyum lebar, ia menyikut bahu Syarif. “Saking senangnya aku melihatmu bekerja keras seperti orang gila. Bisa-bisa remuk tangan dan kakimu itu memanggul peti-peti lada kalau tak beristirahat.”






“Aku harus melakukan itu, aku ingin membahagiakan istriku kelak. Aku ingin mencukupinya.”






Husin tersenyum bahagia, larut dalam kebahagiaan sahabatnya. “Selepas kau menikah nanti, aku akan pindah. Kau berbahagialah berdua dengan istrimu.”






Syarif terkejut mendengar kata-kata sahabatnya, ia menatap heran kepada Husin. 



“Apa yang kau bilang itu? Kau saudaraku, kita tetap akan bersama apapun yang terjadi. Dengan aku menikah bukan berarti kau harus pergi.”







“Aku hanya ingin kau bahagia,” Husin masih tersenyum, “Kau pasti ingin berdua saja dengan istrimu.”








“Aku tak bahagia kalau kau pergi,” Syarif melotot kepada Husin. “Dan jangan pernah bicara begitu lagi.”







Husin menunduk dan terus tersenyum. “Terima kasih banyak. Kau selalu menolongku semenjak kita bertemu tiga tahun yang lalu.” 



Dan angan-angannya mengembara saat Syarif menolongnya dari serangan seekor harimau yang berhasil melukai kakinya. Syarif merawatnya, dan sejak itu ia tinggal di gubug Syarif di kampung Lampadang [1]. Ketika itulah persahabatan mereka dimulai.






“Aku ini sebatang kara. Tapi kemudian Allah memberiku saudara. Tak akan aku biarkan sesuatu yang buruk menimpa saudaraku itu. Kau telah menyelamatkan aku dari kesendirian. Terima kasih banyak.”






“Hei, maukah kau menolongku sekali lagi?” Husin berseri-seri. Ia mencolek pinggang Syarif.






“Apa?”






“Carikanlah aku seorang istri. Aku juga ingin beristri sepertimu.”






“Hahahaha… Tenang saja, nanti Jamilah akan mencarikannya untukmu.”








***








Pada sore yang sama di sisi lain Pantai Ceureumen berdirilah seorang perempuan muda seorang diri. Jamilah, nama perempuan itu. Pandangan matanya melayang menatap teguh kapal-kapal Belanda di lautan. Angin halus menelisik kain kerudung lusuhnya yang rapuh diterjang nasib. Ia sendirian di dunia ini, tak punya siapa-siapa lagi. Untuk hidupnya ia menjual kayu bakar di Pelabuhan Ulee Lheu.



Sebuah gubug peninggalan orang tuanya di Lampadang menjadi tempatnya bernaung. Ketika itu angan-angannya melambung ke angkasa, kepada cinta. Ia bersyukur kepada Tuhan sebab telah menganugerahinya jodoh seorang pemuda yang baik hati, giat bekerja, dan taat beragama. Dan ia sungguh-sungguh mencintai pemuda itu. Pemuda yang tak lama lagi akan menikahinya, Syarif.






Malam merayap sudah. Mengambang memayungi tanah Aceh. Gelap hitam berbayang-bayang, namun indah rupawan. Dan kedamaian jadi udara yang dihirup semua orang. Malam itu agak berbeda. Para lelaki di Lampadang ramai berkumpul di sebuah lapangan di hadapan meunasah [2]. Tangan-tangan mereka menggenggam obor yang kobaran apinya meliuk-liuk gemulai. Malam itulah semua orang akan mengetahui apakah kedamaian masih akan bertahan di tanah Aceh.






Teuku Nanta Seutia [3], uleebalang [4] Enam Mukim [5], berwajah muram saja malam itu. Ia duduk di punggung kudanya, menatap wajah-wajah keras rakyatnya yang menunggu. Sebab kabar yang dibawanya lebih hitam dari kematian.






“Assalamu’alaikum,” ia memulai dalam suara gemetar, dan semua orang bergumam menjawabnya. “Aku menyerukan kepada saudara-saudara untuk mempersiapkan diri. Tadi pagi utusan Belanda datang menghadap Sultan, menyampaikan sepucuk surat, dan telah nyata di dalam surat itu, Belanda menyatakan perang kepada Aceh. Sebab Aceh tidak mau memenuhi apa yang mereka pinta.”






Dengungan-dengungan tiba-tiba menyeruak dari kerumunan orang-orang Lampadang itu. Mereka tenggelam dalam keterkejutan yang mematikan. Jantung-jantung berdetak lebih cepat, napas naik ke tenggorokan. Mereka saling bicara satu sama lain tentang berita dari Teuku Nanta.






Teuku Nanta mengangkat tangan kanannya penuh wibawa. Dalam sekejap keributan itu mereda, semua orang kembali memerhatikan Teuku Nanta. 



“Mengapa kita menolak? Sebab kaum penjajah hendak merampas Aceh. Hendak merampas negeri kita. Hendak merampas kemerdekaan kita. Hendak merampok harta benda tanah kita. Mereka hendak menjajah.”






Teuku Nanta mencabut rencong [6] yang tersemat di perutnya. Ia mengacungkannya tinggi menusuk langit malam. 



“Allah dan RasulNya memerintahkan kita untuk melawan sekuat tenaga apabila kaum penjajah datang hendak merampas tanah kita. Mereka telah menyatakan perang, dan kewajiban kitalah untuk mengobarkan Perang Sabil [7] demi melawan mereka. Jangan ragu! Jangan takut! Bagi orang-orang yang ikhlas berjuang Allah akan menghadiahinya surga. Yang di muka pintunya berdiri bidadari-bidadari, mereka menunggu suami dari Perang Sabil.”






“ALLAAAAAHU AKBAR,” Teuku Nanta memekik.






Dan takbir berkumandang merobek malam. Berhamburan ia dari mulut orang-orang yang teguh yang detik itu juga telah menggadaikan nyawa mereka demi membela negeri, memenuhi amanah Tuhan mereka untuk melawan penjajah.







“Pulanglah! Persiapkanlah diri dan senjata!. Besok subuh datanglah ke Pantai Ceureumen, sebab Belanda akan menyerbu dari sana. Sesungguhnya Allah bersama kita. ALLAAAAAHU AKBAR.” Dan gegap gempita memenuhi malam.







Di tengah-tengah hiruk-pikuk dan kerumunan orang-orang Lampadang itu Syarif mengernyit menatap Teuku Nanta. Mulutnya tak mau berkata apa-apa. Husin hanya menekur saja. Mereka terkejut alang-kepalang, ternyata kapal-kapal Belanda yang mengapung di mulut Pantai Ceureumen membawa kabar perang. Tiba-tiba Syarif menepuk bahu Husin dan berbisik kepadanya.






“Mari pergi.”






Mereka berdua melangkah cepat, batang obor getir mereka genggam, nyala apinya menerangi langkah mereka.






“Antarkan aku ke rumah Jamilah,” kata Syarif. Husin mengangguk tanpa bicara apa-apa, mereka terus melangkah, tergesa-gesa.






Gubug itu berdiri rapuh. Sebatang obor menyala di ambang pintunya. Syarif dan Husin telah berdiri tegak di sana.






“Assalamu’alaikum,” Syarif mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Ia mengulang salam dan mengetuk lagi, tetap tak ada jawaban. Ia mengucap salam yang ketiga, mengetuk makin keras, tapi tetap tak ada jawaban. 



“Kemana perginya Jamilah?”






Husin hanya menggeleng. Tiba-tiba mereka mendengar suara salam di belakang mereka. Suara salam seorang perempuan. Mereka menoleh, dan berdirilah Jamilah di sana sambil menenteng obor. Garis wajahnya yang cantik menyiratkan kegalauan. Sorot mata indahnya mengandung kekhawatiran.






“Jamilah, kemasi pakaianmu sekarang juga, kita pergi dari sini. Belanda telah menyatakan perang tadi pagi. Cepatlah, tak ada waktu lagi” Syarif tergesa-gesa. Kata-katanya berhamburan begitu saja dari mulutnya.






Namun Jamilah diam saja, tak beranjak sama sekali dari tempatnya berdiri. Matanya menatap getir kepada Syarif. Bibirnya gemetar menahan perasaan. Ia telah tahu apa yang terjadi, jauh sebelum Syarif mengatakannya.







“Aku telah tahu, Cutbang [8],” suara Jamilah bergetar. “Cut Nyak Din [9] menceritakannya kepadaku.”








Syarif makin tergesa-gesa. “Kalau kau telah tahu berarti kau telah berkemas! Kalau begitu cepatlah, kita berangkat sekarang juga.”







Sorot mata Jamilah makin getir. Air mukanya keruh, menggambarkan berat beban yang ditanggung jiwanya. Ia menunduk, dadanya berguncang keras, hancur berantakan dihantam lara. Kelopak matanya sudah tak sanggup lagi membendung cairan hangat yang suci itu. Ia menangis, berlinanglah air matanya membasuh wajahnya. Alis Syarif mengerut, Husin diam saja.






“Sabarlah, kita pergi dari sini, kemasi pakaianmu,” Syarif terus mendesak. “Cepatlah!”






Jamilah mengangkat tangannya, menghapus air matanya. Ia menegakkan wajahnya, tersenyum kepada Syarif. Dan dalam kegelapan, dalam keremangan cahaya obor, terlihatlah betapa cantiknya Jamilah. Dan kecantikan itu baru pertama kali disaksikan Syarif.






“Pulanglah, Cutbang,” kata Jamilah lirih. “Bersiaplah! Pergilah berperang!”






Seribu pedang seakan-akan mencabik-cabik jantung Syarif ketika mendengar kata-kata Jamilah. Alisnya bertaut tak mengerti. 



“Apa yang kau bilang itu? Akan pecah perang di Aceh, kita harus pergi dari sini, secepatnya. Cepat kemasi pakaianmu.”






“Tidak, Cutbang! Pulanglah! Kau harus berangkat berperang.”






“Kenapa kau ini, Jamilah? Kita akan menikah tak lama lagi, kita harus pergi dari sini.”






Air mata Jamilah berlinang lagi. Ia sesenggukan, kepalanya menggeleng perlahan. “Aku tahu itu! Tapi penjajah hendak merampas Aceh, kewajiban kitalah membelanya.”







“Demi Allah aku mencintaimu, Jamilah. Aku ingin menikahimu, sebab itu kita harus pegi dari sini.”







Dalam derai air mata itu terkembanglah senyum yang aneh di wajah Jamilah. 



“Aku pun mencintaimu, tapi aku tidak lebih berharga dari tanah Aceh. Belalah negeri ini, Cutbang, berperanglah. Jangan pikirkan lagi pernikahan kita, aku ikhlas. Dan aku akan bangga kepadamu, sebab aku telah mencintai laki-laki yang tepat.”






“Mengapa begini kau bicara? Aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, hanya dirimu! Aku mohon pergilah bersamaku, Jamilah. Aku mencintaimu… aku tak punya siapa-siapa.” Air mata Syarif telah berderai.



Kakinya lemas, ia jatuh berlutut, wajahnya menunduk kepada tanah. “Aku ingin bahagia… aku ingin bahagia bersamamu.”






“Tak ada lagi tempat bagi kita kalau penjajah telah merampas tanah kita. Kita tak bisa pergi kemana-mana, sebab mereka telah menebarkan kezaliman. Walaupun kita menikah, tak akan ada lagi kebahagiaan bersama kita kalau penjajah telah tegak di halaman rumah kita. Karena aku mencintaimu, semua ini aku pinta darimu.” 



Saat kata-kata itu keluar dari mulut Jamilah air mata makin deras berderai di pipinya. Kakinya gemetar. Taufan badai berkecamuk di dalam hatinya tatkala keputusan untuk mengatakan itu diambilnya. Sebenarnya ia tak sanggup, tapi ia kuatkan hatinya sekuat-kuatnya. 



“Aku mencintaimu, karena itu berangkatlah berperang, Cutbang!”






Syarif menangis terisak-isak, punggungnya berguncang. Ia menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Jamilah meniup obor di genggamannya. Ia berjalan gontai, hatinya remuk dihancurkan nerstapa. Ia melangkah masuk ke dalam gubugnya, menutup pintu, dan menguncinya. Di dalam ia menangis sejadi-jadinya.






Husin yang diam saja dari tadi melangkah mendekati sahabatnya. Ia menggamit bahu Syarif dan membangunkannya. Mereka melangkah pulang. Sesampainya di gubug mereka bermenunglah mereka. Diam sejuta bahasa. Lewat tengah malam Husin angkat bicara.







“Maafkan aku, Saudara,” kata Husin terbata-bata, “Aku akan berangkat berperang. Aku ingin beristri seorang bidadari.”







Belum tuntas guncangan karena Jamilah di kepala Syarif, sekarang Husin malah menambah-nambahnya. Ia membelalak kepada Husin. 



“Sekarang kau pun bicara begini. Kau ingin meninggalkan aku? Kita pergi dari sini, jauh dari sini, agar Belanda jahanam itu tak bisa mengganggu kita.”






“Aku pun berpikir begitu tadinya. Tapi sungguh aku bangga kepada Jamilah. Ia mengajarkan aku tentang cinta. Begitulah cinta, Syarif, cinta itu kebesaran jiwa. Kewajiban kita adalah saling mencintai, bukan saling memiliki. Setiap kita adalah milik Allah, kalau Allah ingin mengambilnya kembali kita hanya bisa ikhlas menerimanya. Sekarang Allah menguji kita dengan mendatangkan Belanda yang hendak menjajah tanah kita, apakah kita bisa melaksanakan perintah-Nya untuk membela Aceh?”






“Ya Allah…ya Rabbi,” Syarif menutup wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya. Ia terbenam di kursinya.







“Mari kita berjuang bersama, Syarif,” Husin berdiri dan mendekati Syarif, ia penuh semangat. “Tidakkah kau menginginkan bidadari?”







“Aku tak butuh bidadari,” sahut Syarif ketus.







“Astagfirullahal’azim,” Husin menggeleng, “Sampai hati kau bicara begitu, Allah bisa murka kepadamu.”








“Aku ingin hidup bahagia bersama Jamilah, apakah aku tak bisa mendapatkannya?” Nada suara Syarif mulai tinggi.







“Apakah kau tidak memahaminya, Saudara?” Raut wajah Husin berubah getir. Ia tak menyangka apa yang terjadi pada sahabatnya. “Sebenarnya Tuhan ingin menganugerahi kebahagiaan yang lebih besar untukmu. Dan Jamilah tahu itu, karenanyalah dia meminta semua itu kepadamu.”






Husin melangkah ke kamar, mengambil pedang, lalu berdiri dengan gagah di hadapan sahabatnya. “Aku bangga mengenalmu, dan menjadi saudaramu. Pikirkanlah semua yang telah terjadi, semoga Allah menunjuki dirimu. Mohon maafkan aku. Terima kasih banyak. Aku pamit.”






Husin mengucap salam dan melangkah cepat keluar gubug itu. Tinggallah Syarif sendirian dalam gundah gulana yang segelap malam. Mulutnya sudah tak mau bicara, hanya air matanya yang berurai tiada henti. Dalam semalam, ia telah kehilangan segalanya.








***








Rasa kantuk telah mati. Syarif tak tidur semalaman. Alam pikirannya berseliweran tak henti-henti, membayang-bayang di hadapan pelupuk matanya. Matahari baru naik sepenggalahan, sunyi merawankan. Suara ledakan tiba-tiba terdengar, jauh dan dalam. 



Serangan Belanda rupa-rupanya telah dimulai. Semua gambaran mengerikan terpampang jelas. Dan baur terusir pergi tidak peduli. Jantung Syarif berdetak lebih kencang, pelipisnya berdenyut-denyut, kepalanya pening. Napasnya memburu, dan realitas di tempurung kepalanya berat menggantung. Ia ragu-ragu.






Tiba-tiba suara ketukan terdengar dari pintu gubugnya. Ia melangkah gontai, dan membuka pintunya, terbelalaklah matanya. Dua orang prajurit berdiri diam membisu. Di antara mereka ada usungan, dan Husin terbaring tak bernyawa di dalamnya. Tubuhnya telah dilapisi baju zirah yang berdarah-darah. Matanya telah tertutup sampai ke akhir dunia.






“Husin meminta semua ini sebelum ia syahid. Ia mau kaulah yang menguburkan jenazahnya,” kata salah seorang prajurit itu. Kemudian mereka mengucap salam dan pergi.






Dalam sunyi berlinanglah lagi air mata di pipi lelaki itu. Ia melangkah mendekati mayat saudaranya. Tubuh suci pejuang itu dibasuh air mata. Syarif berlutut di dekat mayat Husin, dan doa-doa lirih melayang-layang, menguap ke angkasa raya, terbang ke hadirat Tuhan.






“Bahagianya dirimu,” bisik Syarif, “Kenalkan aku pada istrimu yang cantik itu.”






Syarif menggendong jenazah sahabatnya. Digalinya sebuah liang lahat di dekat gubug itu. Dikuburnya sahabatnya itu dalam kehormatan pakaian perang yang berlumuran darah. Harum, ikhlas tanpa cela. Selesai memakamkan sahabatnya ia berlari ke kamarnya, mengambil pedang, dan sebuah bungkusan kain berwarna kuning dari balik tempat tidurnya. Ia keluar dari sana dan berlari, tak sempat menutup pintu. Berlari, terus berlari. Tak henti.






Tak lama kemudian sampailah ia di ambang pintu gubug Jamilah. Tangannya gemetar, diketuknya pintu itu, dan diucapkannya salam. Tak harus menunggu lama, Jamilah membukakannya, dan ia tegak di ambang pintu. Syarif menatap kepedihan. Wajah Jamilah telah redup. Matanya sembab, ada bayangan hitam di pelupuknya, tanda bahwa ia mencucurkan air mata semalaman. Namun di tengah-tengah kepedihan Jamilah masih sudi mempersembahkan senyum bagi lelaki yang dicintainya itu.






Suara dentum ledakan samar-samar di telinga mereka. Hati meracau, dan hidup penuh galau. Sepasang pencinta itu berhadap-hadapan, membisu beberapa detik sebab jiwa menggelora. Apa yang harus mereka ucapkan, yang mereka tahu hanya kata cinta. Dan mereka hanya diam, ingin menyelami seberapa dalam hati mereka.






Syarif merogoh saku celananya, mengambil bungkusan kain berwarna kuning itu. Dibukanya ikatannya, dan ia sodorkan bungkusan itu kepada Jamilah dengan kedua belah tangannya. Jamilah terkejut, ia mendekap mulutnya. Isi bungkusan itu adalah sebuah gelang emas. Hanya sebuah.






“Ini jeulamee [10] untukmu,” kata Syarif, “Terimalah, aku dapatkan ini dengan susah payah hanya untukmu.”






Jamilah ragu, tapi ia layangkan juga tangannya untuk mengambil benda itu dengan gemetar. Ia dekap gelang itu di dadanya, dan hatinya menguapkan puji-pujian hanya kepada Tuhan. Air matanya telah berlinang. Beberapa detik berlalu mereka hanya diam. Tak kuasa berkata apa-apa.






Suara dentuman sayup-sayup terdengar lagi. Membuyarkan angan-angan mereka tentang keindahan pernikahan yang tak akan pernah terlaksana. Cinta mereka suci, namun tak kuasa mereka menyatukannya.






“Aku akan berangkat berperang,” kata Syarif dengan gemetar, wajahnya menunduk menatap tanah, tak sanggup memandang wajah kekasihnya. 



“Aku mencintaimu, sungguh-sungguh mencintaimu. Aku tak ingin bidadari, aku hanya menginginkanmu. Jaga dirimu baik-baik.”






Syarif berbalik dan melangkah cepat meninggalkan kekasihnya. Ia berlari sambil menenteng pedang di tangan kanannya. Jiwanya menggelora, ia menangis. Tapi belum jauh ia berlari, langkahnya telah terhenti.






“Cutbang, tungguuuu,” Jamilah memanggil.






Syarif menoleh ke belakang, ia melihat Jamilah masuk ke dalam gubugnya. Beberapa detik kemudian ia keluar lagi dengan menenteng pedang. Ia berlari mendekati Syarif. Gelang emas itu tetap didekapnya di dadanya.







Jamilah menatap dalam-dalam mata kekasihnya itu, “Demi Allah aku mencintaimu, Cutbang. Aku ingin bahagia bersamamu. Ingin sekali.”







Ledakan-ledakan terdengar lagi. Dentuman senjata membahana sunyi. Rentetan peluru tak putus-putus. Jauh dan sabar, sendu dan pilu. Senyum merekah di wajah Syarif.







“Aku tak ingin bidadari, aku hanya ingin dirimu. Perang Sabil menunggu kita, mari berangkat.”







Mereka berjalan cepat, bersisian. Pedang kokoh dalam genggaman masing-masing. Pandangan mereka lurus ke depan, menatap perjuangan yang jadi amanah Tuhan. Baru kali itu senyum merekah di bibir mereka berdua, bersama-sama. Gelang emas teguh dalam dekapan Jamilah, seteguh Syarif mendekap cintanya. 



Mereka bertempur bersama-sama dalam Perang Sabil. Menggadaikan cinta mereka demi perjuangan, dalam kebesaran jiwa, dalam keikhlasan, dalam cinta. Dan berbahagialah mereka selamanya dengan cinta mereka. Tuhan sendiri yang menikahkan mereka. Para malaikat menjadi saksi-saksinya. Bidadari-bidadari jadi pengiring-pengiringnya. Seisi surga berbahagia… 









Like → Tweet :










Join → Follow :














Keterangan :

[1] Sebuah nama kampung di Aceh pada abad ke-19.

[2] Semacam balai rakyat dalam bahasa Aceh.

[3] Beliau adalah ayah dari Cut Nyak Din.

[4] Semacam kepala pemerintahan dari suatu daerah yang terdiri dari kumpulan kampung di Aceh abad ke-19.

[5] Nama suatu wilayah kekuasaan adat di Aceh abad ke-19.

[6] Belati unik khas Aceh. Bentuk dan ukurannya melambangkan status sosial tertentu.

[7] Perang Sabil (diambil dari kata dalam bahasa Arab sabilillah (jalan Allah) adalah serangkaian peperangan yang terjadi antara Kesultanan Aceh dan penjajah Belanda pada abad ke-19. Istilah ini kerap disebut oleh orang Aceh pada masa itu.

[8] Abang, panggilan untuk laki-laki yang lebih tua.

[9] Seorang pahlawan wanita dari Aceh, beliau adalah puteri dari Teuku Nanta Seutia.\

[10] Mas kawin (mahar).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FOTO: Begini Foto Hitam-Putih disulap ke Warna Asli

Penulis Kondang Spanyol: “Wajar Bangsa Yahudi Selalu Terusir”

FOTO-FOTO: Anjing Ajaib Ini Bisa Berdiri di Atas Tali