Aceh dalam Ingatan Orang-orang di Belanda (2)







Perang Aceh, ist Lukisan 








(Penulis Nico Vink, diterjemahkan oleh Hasti Tarekat)








Anda bisa membayangkan Van Heutsz, dengan tangan di belakang, perut buncit, memberi kesan sebagai seorang militer superior yang arogan. Tetapi di bawah kepemimpinan penerus Van Heutsz, yaitu Van Daalen, baru terjadi perubahan.





Selama ‘ekspedisi’nya ke pedalaman Gayo dan Alas, semua isi kampung dibunuh. Van Daalen dan pasukannya memerintahkan agar apa yang mereka lakukan diabadikan melalui foto, dengan penuh kebanggaan, yaitu tumpukan mayat dengan seorang anak lelaki yang kebetulan selamat dari huru-hara itu disampingnya.







Para pejabat Belanda yang dipermalukan oleh Van Daalen menulis secara anonim kenyataan yang mencengangkan itu di koran-koran Belanda. Para anggota Parlemen yang terkejut (di antaranya Victor de Stuers) mengkritik bahwa ’Pemerintah menyebutnya ekskursi, tetapi saya menyebutnya sejarah pembunuhan’. 





Koran Het Volk menulis pada tanggal 17 Juli 1904 ‘sebuah negara yang beradab dan berperikemanusiaan tidak seharusnya menyanjung seseorang (Van Heutsz) yang telah menumpahkan darah’.






Maka dalam sekejap berubahlah gambaran tentang negara Belanda yang beradab yang bukan melancarkan perang melainkan pasifikasi dan mengembalikan ketenangan serta menegakkan peraturan, menjadi negara Belanda yang berkhianat, tidak dapat dipercaya, terbius oleh opium dan seks. Tiba-tiba orang-orang Belanda bukan pahlawan lagi melainkan para pembunuh massal.





Sejak tahun 1970-an buku-buku sejarah tidak lagi menampilkan kisah-kisah kepahlawanan melainkan informasi berdasarkan fakta yang ditulis secara singkat, contohnya ’setelah perjuangan berdarah selama bertahun-tahun maka Aceh berhasil dikuasai. Banyak korban pribumi yang jatuh’. Pada tahun 1990-an ditulis demikian ’hingga tahun 1900 orang Belanda hanya ingin mencari untung di Indonesia.





Lalu pada tahun 1873 orang Belanda ingin menguasai Aceh karena di sana banyak sumber minyak dan gas sehingga orang Belanda harus melancarkan perang. Orang Aceh melakukan perlawanan’ (yang benar adalah orang Aceh yang pecinta kemerdekaan ingin tetap merdeka, maka dengan segala kekuatan mereka menolak agresi Belanda. Itu berbeda artinya dengan melakukan perlawanan- Red).





Ketika akhirnya orang Aceh berhenti melawan, hal itu bukan menyerah seperti yang dipikirkan Belanda, tetapi mereka ’mencuri’ waktu untuk kelak bersama-sama dapat bangkit lagi dan mengusir Belanda dari Kutaraja sesaat sebelum Jepang menyerang Aceh pada bulan Maret 1942. Sebagaimana yang dicatat sejarah.





Pameran Van heldendaad tot schandvlek – het Nederlands koloniaal verleden in de geschiedenisboekjes (Dari tindakan patriotik menjadi noda yang memalukan - Penjajahan Belanda di masa lalu dalam buku sejarah) di Museum Pendidikan Nasional di Rotterdam tahun 2005 mendapat inspirasi dari skripsi doktoral Lucia Hogervorst. 





Pameran yang sama pada tahun 2006 digelar di Museum Bronbeek di Arnhem dengan menggunakan judul Het Nederlands koloniaal verleden in de geschiedenisboekjes (Pejajahan Belanda di Masa Lalu dalam Buku Sejarah).










Foto (1) Kontroversi - (Klik untuk memperbesar)











Judul Van heldendaad tot schandvlek (Dari tindakan patriotik menjadi noda yang memalukan) tampaknya tidak dapat diterima di Arnhem karena dianggap terlalu peka untuk para pejuang Bronbeek. Kepekaan yang sama juga tercermin melalui komentar-komentar pers tentang pameran di Rotterdam seperti dalam koran NRC dan Nederlands Dagblad yang berkiblat Protestan.





Bagaimana di Aceh? Pada awalnya Aceh bersikap antusias setelah Perang Dunia Kedua dengan dinyatakannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Tetapi tak lama kemudian Aceh segera menyadari munculnya kolonialisme Jakarta. Maka dimulai lagi perjuangan kemerdekaan yang sengit selama bertahun-tahun. Tiba-tiba terjadi tsunami tahun 2004, sebuah tragedi di luar batas kemanusiaan.





Tetapi Perang Kolonial Belanda di Aceh tampaknya berhasil bertahan dari bencana itu. Puisi-puisi kepahlawanan masih ditemukan (20). Contoh yang menarik misalnya Hikayat Perang Sabil dari Abad ke-19. Hikayat bercerita tentang perang mempertahan diri yang terjadi di Aceh melawan penjajah Belanda yang agresif dan dengan cepat menarik simpati orang Aceh yang beragama Islam. Pesan Hikayat yang kuat sangat sesuai dengan jiwa perjuangan rakyat Aceh.





Hikayat menyerukan agar rakyat Aceh melancarkan perang jihad melawan orang Belanda yang tidak beragama. Di bawah kekuasaan Belanda yang tidak beragama maka rakyat Aceh tidak dapat lagi menjalankan keyakinan mereka. Pembunuhan dan kematian akan terjadi di mana-mana. Keyakinan mereka, Islam, akan diancam oleh penjajah. Adat istiadat mereka juga akan dilarang. Belum lagi persoalan perilaku para serdadu Belanda yang tidak bermoral, pemerkosaan dan lain-lain.





Setiap orang Aceh, setiap pria dan wanita dan anak-anak dengan demikian harus berpartisipasi dalam perjuangan melawan penjajah. Perang melawan Belanda adalah perang seluruh rakyat. Imbalannya, surga. Jika tidak berpartisipasi maka hukumannya adalah api neraka. Satu hari bertempur melawan Belanda mendapat pahala jauh lebih besar daripada seribu hari naik haji di Mekah. Jihad adalah cara kematian yang terindah. Karena setiap orang ikut bertempur maka sulit untuk memisahkan para pejuang dengan yang bukan pejuang.





Tetapi ketika orang-orang Belanda setelah perang selama 30 atau 40 tahun menjadi semakin kuat dan tampaknya dekat dengan kemenangan, maka Aceh menyerahkan diri pada Belanda, namun dengan syarat bahwa orang-orang Belanda pertama-tama harus mengakui Islam sebagai agama mereka. Jika Aceh menyerahkan diri, tidak berarti sebagaimana yang kita pahami sebelumnya bahwa mereka juga rela dikuasai. Penyerahan diri itu hanya merupakan taktik untuk membenahi kekuatan.




Ini sebagian dari puisi kepahlawanan Aceh yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda: (21)



Daarom, teungkoes, weest niet nalatig.

Volbrengt de godsdienstplichten, o broeders.

O, vrienden, er is geen enkele goede daad,

Die het oorlogvoeren overtreft.

De Heilige Oorlog is u als plicht opgelegd,

Begrijpt dat goed, o broeders!

Eerst komt de geloofsbelijdenis, dan de sembahjang

(dagelijks 5x bidden-Red),

Ten derde het oorlogvoeren tegen de Hollanders.



Oleh sebab itu, tengku, jangan tidak peduli

Kerjakanlah kewajiban beragama, o saudaraku

Oh, kawan, tidak ada satu pun kebaikan,

Yang melebihi perjuangan dalam peperangan

Perang jihad adalah kewajibanmu

Pahamilah hal itu, o saudaraku!

Pertama membaca syahadat, kemudian shalat,

Ketiga berperang melawan Belanda.



Sementara Teuku Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda, sang istri, Cut Nya Dien, menyanyikan lagu pengantar tidur untuk bayi mereka: (22)



Hé, mijn kleine jongen, mijn beminde zoon, je bent een man,

Je vader, je grootvader zijn ook mannen, toon je manlijkheid,

De Christenhonden willen ons land bezetten,

Zij willen onze godsdienst inruilen coor hun godsdienst, De godsdienst van de christenhonden.



Verdedig de rechten van ons Atjenees volk,

Verdedig onze godsdienst, de Islamitische godsdienst. 

O, mijn zoon, volg de voetsporen van je vader,

Teuku Ibarhim Lamnga, nu hij niet thuis is.

Denk maar niet dat je vader met z’n vrienden op stap is

Om de komst van de Christenhonden te vieren,

Hij is op weg om hen te verjagen uit het land Atjeh.



Hai, anak lelakiku, anak lelaki kesayanganku, kau seorang lelaki,

Ayahmu, kakekmu juga laki-laki, tunjukkan keperkasaanmu,

Anjing-anjing Kristen ingin menguasai negara kita,

Mereka ingin menukar agama kita dengan agama mereka, Agama para anjing Kristen.

Belalah hak rakyat Aceh,Belalah agama kita, agama Islam.



Wahai, anak lelakiku, ikutilah jejak ayahmu,

Teuku Ibrahim Lamnga, yang sekarang tidak di rumah,

Jangan kira ayahmu sedang bersenang-senang dengan temannya,

Untuk merayakan kedatangan para anjing Kristen, 

Beliau pergi untuk mengusir mereka dari tanah Aceh.




Sampai sekarang hikayat masih tetap aktif dihidupkan. Pada tahun 2007 terbit versi kartun kisah hikayat untuk anak-anak sekolah di Aceh. Sampai sekarang para ibu juga masih menyanyikan lagu pengantar tidur untuk bayi-bayi mereka. Lagu-lagu dodaidi mengajarkan pada anak-anak Aceh agar kelak harus membantu para pejuang Aceh. Ini salah satu lagu dodaidi: (23)



Tiada Tuhan selain Allah

Rasul telah berpulang

Kembali ke pangkuan Allah

Beliau meninggalkan Al Qur’an untuk kita

Do idi ku doda idang

Tali layang-layang di udara telah putus

Jadilah anak yang kuat, oh Banta Seudang

Ikutlah bertempur dalam peperangan, selamatkan Aceh.




Apakah Perang Aceh yang di Aceh disebut sebagai Perang Penjajahan Belanda masih diingat? Mehmet Ozay membantu saya pada Januari 2010 mewawancarai lebih dari 25 murid sekolah, mahasiswa dan dosen di Banda Aceh (24). Bagaimana mereka mengenang Perang Aceh?





”Jakarta” tidak pernah mempunyai perhatian terhadap sejarah daerah, tetapi memusatkan perhatian hanya pada sejarah Jawa dan hanya mengakui pahlawan-pahlawan nasional yang di dalamnya termasuk Teuku Umar dan Cut Nya Dien. Bagi ”Jakarta”, Aceh merupakan hal yang peka. Generasi muda Aceh tidak diperkenankan untuk menjadi patriot Aceh.





Oleh sebab itu seberapa jauh pelajaran tentang Perang Penjajahan Belanda diberikan di sekolah di Aceh sangat bergantung pada pengajarnya. Sejak penandatanganan Kesepakatan Helsinki antara Aceh dan ’Jakarta’ tahun 2005 maka ketertarikan secara terbuka di Aceh terhadap Perang Penjajahan Belanda semakin meningkat. 





Para kakek tanpa rasa takut dapat menceritakan kembali kisah perjuangan mereka kepada cucu-cucu. Para pengajar sekolah dasar dan sekolah menengah menceritakan dalam pelajaran sejarah bagaimana rakyat Aceh dengan gagah berani melawan penjajah Belanda hanya dengan bersenjatakan bambu, rencong dan klewang.





Di sekolah menengah atas, tugas mata pelajaran Imperialisme dan Kolonialisme di Indonesia merujuk pada perang tersebut. Di tingkat universitas di jurusan sejarah diperbandingkan visi para sejarawan Aceh dengan visi para sejarawan Belanda. Bagaimana Jendral Belanda Köhler pada Perang Aceh Pertama tahun 1873 dibunuh oleh rakyat Aceh di bawah pohon geulumpang dekat Mesjid Raya di Kutaraja sangat populer untuk dibahas.





Dan bagaimana Teuku Umar mengelabui Belanda juga dengan sendirinya berada dalam urutan teratas pembahasan. Mereka selalu memandang ahli Islam asal Belanda bernama Snouck Hurgronje dengan pengetahuannya tentang Aceh sebagai pengkhianat. Sebagaimana Belanda mengenal Van Heutsz, para murid dan mahasiswa Aceh juga mengenal para pahlawan mereka.





Mereka telah melihat pameran foto tentang Perang Belanda di Museum Aceh dan mereka juga mengenal Hikayat Perang Sabil. Dan dengan wisata sekolah ke Makam Belanda Kerkhof di Banda Aceh, makam militer Belanda terbesar di Aceh tempat bersemayam sekitar 2.200 militer KNIL, mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Perang Belanda di Aceh bagi Belanda sendiri bukan hal yang ringan.





Di makam ini mereka juga melihat nama-nama asal Ambon, Menado dan Jawa yang menjadi bukti betapa kreatifnya Belanda untuk saling mengadu domba orang Indonesia antara satu dengan lainnya. Sementara Jawa sudah beberapa ratus tahun menjadi jajahan Belanda, maka Aceh setelah 70 tahun berperang sebenarnya belum benar-benar berhasil dikuasai oleh Belanda.





Hal ini sampai sekarang masih diceritakan oleh orang Aceh dengan penuh kebanggaan. Pastilah bukan tanpa sebab bahwa orang Aceh masih mengingat Perang Penjajahan Belanda yang terjadi antara 70 hingga 140 tahun yang lalu di samping tragedi tsunami tahun 2004. Kursus tambahan bagi para pengajar tentang perang tersebut akan dilakukan di masa depan dan sebuah pameran foto besar-besaran pada tahun 2011 tentang perang tersebut juga sedang dalam tahap persiapan.



Bersambung ke halaman 3






















Komentar

Postingan populer dari blog ini

FOTO: Begini Foto Hitam-Putih disulap ke Warna Asli

Penulis Kondang Spanyol: “Wajar Bangsa Yahudi Selalu Terusir”

FOTO-FOTO: Anjing Ajaib Ini Bisa Berdiri di Atas Tali