‘Baitul Asyi’, Wakaf Aceh di Tanah Suci
Pada saat ini harta wakaf 'Baitul Asyi' telah berkembang menjadi aset penting, berupa bangunan hotel yang berdekatan langsung dengan Masjidil Haram, mampu menampung lebih dari 7.000 jama’ah.
Jama’ah haji asal Aceh rasanya patut berterima kasih kepada seorang ulama besarnya yang meninggalkan warisan yang amat berharga. Yakni Habib Abdurrahman Bin Alwi Al-Habsyi, yang mewakafkan harta warisannya di kota Makkah yang diperuntukkan bagi jama’ah haji asal Aceh.
Yang juga patut dibanggakan, ternyata di kemudian hari wakaf ini menjadi aset utama bagi masyarakat Aceh, yang dikenal dengan nama Baitul Asyi. Dari kata “Al-Asyi” itu pulalah, kini di Makkah dikenal keluarga Al-Asyi, orang-orang Arab Makkah yang memiliki darah Aceh.
Adalah dua tokoh ulama Aceh, Dr. Alyasa’ Abubakar, kepala Dinas Syariat Islam NAD, dan Dr. Azman Isma’il, M.A., imam besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, yang mengeluarkan surat pernyataan tentang asal-muasal wakaf Habib Bugak Al-Asyi, nama lain Habib Abdurrahman, belum lama ini.
Keduanya menyebutkan, seorang hartawan dan dermawan Aceh, Habib Bugak, mewakafkan sebuah rumah besar di Qusyasyiah, tempat antara Marwah dan Masjidil Haram, dekat pintu Bab Al-Fatah.
Menurut akta ikrar wakaf yang disimpan dengan baik oleh nadzir (penanggung jawab dan pengurus wakaf), wakaf tersebut diikrarkan oleh Habib Bugak Asyi pada tahun 1224 Hijriyah/1809 Masehi, di hadapan Hakim Mahkamah Syar’iyyah Makkah. Di dalam akta itu disebutkan, rumah tersebut diwakafkan buat penginapan orang yang datang dari Aceh untuk menunaikan haji, serta orang Aceh yang menetap di Makkah. Habib Abdurrahman atau Habib Bugak juga telah menunjuk seorang nadzir, salah seorang ulama asal Aceh yang menetap di Makkah. Nadzir itu diberi hak sesuai dengan tuntunan syari’ah Islam.
Pada tahun 1420 H/1999 M, Mahkamah Syar’iyyah Makkah mengukuhkan Syaikh Abdul Ghani bin Mahmud bin Abdul Ghani Al-Asyi, generasi keempat pengelola wakaf, sebagai nadzir yang baru. Sejak tahun 1424 H/2004 M, tugas nadzir dilanjutkan oleh sebuah tim yang dipimpin anak nadzir sebelumnya, Syaikh Munir bin Abdul Ghani Al-Asyi, generasi kelima, serta Dr. Abdul Lathif Baltho‘.
Habib Bugak Asyi telah mewariskan kepada masyarakat Aceh harta yang kini telah berharga lebih dari 200 juta riyal atau 5,2 trilyun rupiah sebagai wakaf fi sabilillah. Pada saat ini harta wakaf tersebut telah berkembang menjadi aset penting, di antaranya berupa Hotel Ajyad bertingkat 25 sekitar 500 meter dari Masjidil Haram dan Menara Ajyad bertingkat 28 sekitar 600 meter dari Masjidil Haram. Kedua hotel besar ini mampu menampung lebih 7.000 jama’ah yang dilengkapi dengan infrastruktur yang lengkap.
Sebagai gambaran, pada musim haji tahun 1428 H lalu, Nadzir Wakaf Habib Bugak mengganti biaya pemondokan haji sebesar 25 miliar rupiah, yang diberikan kembali bagi seluruh jama’ah haji asal Aceh.
Tokoh Besar Aceh
Sampai saat ini belum banyak yang mengetahui secara pasti siapa sebenarnya Habib Bugak, yang telah memberikan manfaat besar kepada masyarakat Aceh ini, padahal ia sudah wafat sejak ratusan tahun yang lalu. Belum ada literatur yang memuat sejarah hidup tokoh besar yang dermawan ini, perjuangan, dan kiprahnya dalam kehidupan masyarakat Aceh. Sejarah mesti mengungkap jati diri Habib Abdurrahman Al-Habsyi, yang dikenal masyarakat sebagai Habib Bugak.
Menurut Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar, perihal nama asli Habib Bugak belum ada data yang pasti, karena pada akta ikrar wakaf tidak tercantum nama asli, hanya disebutkan Habib Bugak Asyi.
Ia menyarankan agar kata Bugak itu juga patut ditelusuri, apakah yang dimaksud Bugak yang di Bireun atau lainnya. Menurut Alyasa’, sekurangnya ada nama Kuala Bugak yang berada di Aceh Timur.
Karena terdorong oleh kehebatan karamah yang dimiliki Habib Bugak ini, Tim Red Crescent (Bulan Sabit Merah) dan The Acheh Renaissance Movement (Gerakan Kebangkitan Aceh), yang dimotori Ustadz Hilmi Abubakar, bersinergi untuk mengadakan penelitian sejarah hidup Habib Bugak. Tidak disangsikan, tokoh yang mewakafkan hartanya di Makkah ini adalah seorang waliyullah yang memiliki karamah besar.
Karamahnya tidak hilang dengan wafatnya, bahkan terus bertambah, seperti wakaf yang ia berikan. Berawal dari sebuah rumah yang mampu menampung puluhan orang, kini telah menjadi hotel besar yang mampu menampung 7.000 orang dan menghasilkan dana besar untuk kepentingan perjuangan di jalan Allah. Diperkirakan, jumlah asetnya akan meningkat terus, karena diinvestasikan dengan profesional oleh para nadzir wakaf di Makkah.
Berdasarkan beberapa dokumen resmi yang dikeluarkan Kesultanan Aceh Darussalam bertahun 1206 H/1785 M-1289 H/1870 M, diketahui, Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al-Habsyi adalah salah seorang tokoh Aceh yang memiliki peranan penting dalam sejarah rekonsiliasi masyarakat Aceh. Terutama saat terjadinya ketegangan yang timbul pada awal abad ke-18 Masehi, akibat pemberhentian Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada tahun 1699 yang digantikan oleh suaminya, Sultan Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif Hasyim Jamaluddin Syah Jamalullail (1699-1702), atas fatwa dari Ketua Mufti Syarif Makkah setelah wafatnya Mufti Qadhi Malikul Adil Maulana Syiah Kuala (Tengku Syah Kuala).
Fatwa ini telah mengantarkan para sayyid sebagai sultan Aceh selama hampir 30 tahun. Naiknya kembali keturunan garis sultan asal Pasai dari keturunannya di Bugis, Sultan Alaidin Ahmad Syah (1733), dan para pelanjutnya, telah menimbulkan kegusaran. Apalagi, pada saat itu, tokoh kharismatis dari kalangan habib belum ada yang setaraf dengan Habib Abu Bakar Bilfaqih atau Habib Tengku Di Anjong, yang wafat pada tahun 1680-an.
Sementara belum ada kalangan habaib yang dapat menggantikan kedudukan Tengku Di Anjong yang dihormati serta disegani oleh masyarakat Aceh, baik kalangan istana, ulama, maupun masyarakat luas, muncul pula kaum imperialis-kolonialis Barat kaphe (kafir) yang sedang mencari cara untuk masuk menaklukkan Aceh.
Maka para tokoh sayyid di Aceh meminta syarif Makkah, yang masih memiliki otoritas keagamaan atas Aceh, agar mengirim para tokoh kharismatis, habib dan ulama, yang dapat membawa kedamaian dan rekonsiliasi masyarakat Aceh. Di antara utusan yang datang dari Makkah adalah Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi, yang di kemudian hari dikenal dengan nama Habib Teuku Chik Monklayu, yang juga dikenal dengan Habib Bugak Aceh, karena ia tinggal dan makamnya di Pante Sidom, Bugak, Bireuen.
Habib Abdurrahman Al-Habsyi Bugak termasuk hamba dan wali Allah yang mendapat kehormatan dan kemuliaan dari Allah. Selain dikenal sebagai dzurriyyah Rasulullah SAW, ia juga seorang ulama ahli fiqih, sufi, dan seorang pemimpin masyarakat yang dipercaya oleh Sultan Aceh sebagai Teuku Chik, yang kekuasaannya terbentang dari desa-desa di sekitar Jeumpa, Peusangan, Monklayu, Bugak, sampai Cunda dan Nisam, sebagaimana yang dituangkan dalam surat keputusan Sultan Mahmudsyah pada surat bertahun 1224 H (1800 M).
Kedudukan Habib Abdurrahman telah mengantarkannya sebagai salah seorang hartawan yang memiliki tanah pertanian luas serta menguasai jalur laut. Namun keshalihan dan kesufiannya mengantarkannya menjadi seorang dermawan yang ringan tangan membantu masyarakat, sebagaimana akhlaq Ahlul Bayt.
Dikabarkan, ia banyak berinfak dan bersedekah kepada masyarakat sekitarnya. Bahkan karena kecintaannya kepada Aceh yang telah memberikan keutamaan dan nikmat besar, ia rela tidak kembali ke tanah kelahirannya di Makkah Al-Mukarramah dan mewakafkan seluruh harta warisannya di Makkah untuk kepentingan masyarakat Aceh. Dan amal shalih yang diwakafkannya berkembang berlipat-lipat bahkan memberikan manfaat yang terus berdampak besar kepada masyarakat Aceh.
Maka meneladani amalannya adalah sesuatu hal yang diharapkan dapat mendekatkan diri kepada Allah serta mendapat kemulian dari-Nya, sebagaimana yang telah diberikan Allah SWT kepada Habib Bugak.
Habib Abdurrahman diperkirakan wafat pada usia 150-an, pada sekitar tahun 1280 H/1860 M dan dimakamkan di Pante Sidom, Bugak.
Anak tertua Habib Abdurrahman, yang bernama Husein bin Abdurrahman Al-Habsyi, berangkat ke Makkah untuk menunaikan amanah Habib Abdurrahman, termasuk untuk mengurus harta warisannya di Makkah. Di antaranya berupa rumah di sekitar Ka’bah, sebagai warisan turun-temurun keluarga besar Al-Habsyi. Karena mendapat nikmat dan penghormatan yang besar di bumi Aceh, Habib Husein, atas wasiat ayahandanya, Habib Abdurrahman, mewakafkan sebuah rumah untuk kepentingan masyarakat Aceh di Makkah, baik jama’ah haji maupun mereka yang tinggal belajar.
Itulah sebabnya, dalam ikrar wakaf tidak disebutkan nama pemberi wakaf, namun hanya mencantumkan Habib Bugak Asyi, untuk menghormatinya, yang telah tinggal di Bugak.
Ada juga pendapat yang menyatakan, ia sempat berangkat ke Makkah kembali dan mewakafkan hartanya sendiri dengan nama Habib Bugak Asyi. Karena sudah menjadi tradisi orang-orang zahid dan shalih, tidak mengungkapkan jati diri dalam beramal shalih dan bersedekah. (*/alkisah)
Komentar
Posting Komentar