Intimidasi POLRI, “Kok Jilbab Harus ke Aceh?”
Pernyataan Wakil Kapolri Komjen Oegroseno apabila ada Polwan yang ingin berjilbab dan tidak tahan dengan aturan akan dipindahkan ke Aceh (NAD), dianggap sebagai bentuk intimidasi.
Ketua Umum PP Nasyiatul Aisyiyah (NA) Normasari menjelaskan, tidak seharusnya Polri mempersoalkan masalah ini. Terlebih, dengan mengatakan anggota Polwan dipindahkan ke Aceh.
"Itu ancaman mutasi, persepsi saya. Itu seperti bahasa instruksi," kata Norma, Kamis (5/12/2013).
Dia menjelaskan, tugas Polri adalah menegakkan keadilan dan hak asasi manusia. Menggunakan jilbab, katanya, adalah hak asasi.
Untuk itu, Norma mengaku heran apabila Polri mempersoalkan ini. Sebab, seharusnya institusi Polri yang mengawal hak asasi manusia di Indonesia.
"Mengapa ini menjadi polemik di lembaga yang harusnya melindungi rakyat. Terus peran mereka (Polri) mengayomi dan melindungi itu bagaimana. Ini kok jadi tidak proporsional. Kok jilbab harus ke Aceh?," jelasnya.
Menurut pengajar di Universitas Ahmad Dahlan Jogjakarta ini, pernyataan Wakapolri tersebut bisa dimaknai sebagai sikap yang tidak relevan. Baginya, para bawahan terutama Polwan yang ada di bawah, tidak akan berani bila atasannya sudah mengatakan demikian.
"Saya memandang ada semacam pembatasan yang membuat orang menjadi tidak nyaman. Secara tidak langsung kalau kamu tidak ikuti, tahu resikonya. Itu kalau bisa dikatakan arogan, tidak relevan menanggapi," jelasnya.
Bagi dia, institusi Polri tidak harusnya memandang Polwan berjilbab untuk diseragamkan. Mana yang pantas dan tidak, semua punya ukuran.
Norma mencotohkan di organisasi otonom Muhammadiyah yang dia pimpin sekarang. Tidak bisa memaksakan anggotanya untuk menggunakan jilbab yang seragam.
"Ormas saja tidak bisa menentukan ukuran jilbab. Saya tidak bisa mengatur jilbab harus seragam. Karena jilbab menutup aurat dan caranya berbeda-beda. Kita saja yang ormas basis Islam tidak ribet. Polwan bisalah menyesuaikan," tutur Norma.
Komentar
Posting Komentar