Pers Israel: Tidak Akan Ada Kemenangan di Jalur Gaza
Setelah dua pekan mendengar kabar kebehasilan Iron Dome mencegat roket, memukul mundur upaya Hamas menyusup dari bawah tanah dan laut, beragam keberhasilan serangan udara Israel membunuh anak-anak Palestina, dan tidak ada korban di pihak Israel, tentara Zionis larut dalam keyakinan akan memenangkan perang dan kebanggaan.
Namun semua itu berubah dalam sekejap ketika tentara Israel keluar dari Jalur Gaza dengan 25 kantong mayat, dan puluhan lain ditandu akibat luka serius. Semua itu terjadi setelah Israel memutuskan mengerahkan tank dan pasukan ke Jalur Gaza untuk memberangus sarang roket Hamas.
Bagi negar seperti Israel, yang mewajibkan sebagian besar warganya menjadi tentara, kerugian militer dianggap tragedi dibanding kematian warga sipil. Pers Israel memperkeruh suasana. Televisi menayangkan korban luka dan tewas, yang semuanya masih berwajah belia, serta mewawancarai orang tua mereka.
Muncul ketakutan di keluarga yang anak-anaknya bertempur di Jalur Gaza. Mereka sulit tidur, karena khawatir esok pagi kedatangan tentara yang membawa anak-anak mereka di dalam kantong mayat.
Korban di pihak Israel ini yang terbesar sejak Perang di Lebanon tahun 2006. Saat itu tentara Zionis kewalahan menghadapi Hizbullah di darat, yang membuat Israel mengebom membabi buta.
Hamas yang mereka hadapi saat ini, menurut Menlu AS John Kerry, bukan serdadu amatiran. Hamas, dengan Brigade Al-Qassam di dalamnya, adalah prajurit tangguh dan terlatih. Mereka mengadaptasi taktik Hizbullah, dan cepat beradaptasi dengan perubahan taktik yang dilakukan Israel.
Alon Geller, serdadu Israel berusia 42 tahun, mengatakan situasi ini sangat tidak baik. Namun, katanya, operasi harus dituntaskan. "Jika berhenti saat ini, para prajurit mati sia-sia," ujarnya.
Surat kabar Haaretz, dalam editorialnya, memperingatakan; "Pasir Gaza lembut, dan bisa berubah menjadi pasir hisap yang menelan tentara Israel." Di paragrap lain koran itu menulis; "Tidak ada kemenangan di Gaza. Israel harus membatasi waktu. Yang ada adalah pembantaian warga sipil."
Koran lain menulis Israel tidak perlu bangga bisa membunuh 600 warga sipil, karena Jalur Gaza adalah salah satu tempa terpadat di muka bumi. Alih-alih membungkam roket Hamas, pemboman yang mereka lakukan tidak menghasilkan apa-apa, kecuali sikap sinis dunia.
Menurut Haaretz, invasi darat ke Gaza adalah operasi ragu-ragu. Israel tahu tidak memiliki kemampuan perang kota, meski dilengkapi banyak tank. Hamas bisa menembak dari mana saja.
Pemboman menjadi sia-sia, karena setelah dua pekan Israel tidak bisa menghentikan serangan roket ke Israel. Di sisi lain, gelombang opini dunia menjadi berbalik melawan Israel, setelah Hamas menolak usulan gencatan senjata.
Israel melihat Gaza dengan perspektifnya sendiri. Mereka lupa, Hamas adalah Gaza, dan Gaza adalah Hamas. Tidak akan ada maki-maki terhadap Hamas dari keluarga Palestina yang kehilangan dua, tiga, atau empat anak akibat pemboman Israel.
Situasi sebaliknya terlihat di Israel. Ketika satu serdadu mati, seluruh keluarga yang mengirim anaknya ke medan perang seakan menangis, dan mengutuk kelompok garis keras di Knesset yang menghendaki pembantaian anak-anak Palestina di Gaza.
Haviv Shabtai, seorang sopir taksi di Yerusalem, telah beberapa kali terlibat perang. Ia memiliki anak, yang terlibat dalam pertempuran di Gaza.
"Secara fisik saya mengalami kerugian, setiap kali mendengar kabar tentang operasi di Gaza," ujarnya. "Saya benci perang."
(*inlah)
Komentar
Posting Komentar