Prabowo-Wiranto, Sama-sama merasa paling Bersih dari Dosa pelanggaran HAM
Derek Manangka - (*OPINI
Anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) dikenal memiliki disiplin dan solidaritas yang kuat. Disiplin dan solidaritas sudah menjadi dogma. Demikian kuatnya disiplin dan solidaritas korps TNI, sampai-sampai, dogma itu terbawa hingga ke masa pensiun.
Setelah pensiun mereka bergabung dalam organisasi seperti Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) atau Pepabri (Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Lewat organisasi itulah mereka melanjutkan silaturahmi. Menjaga kekompakan dan persahabatan.
Namun bagi Prabowo dan Wiranto yang dua-duanya sudah masuk golongan 'orangtua', dogma ini nampaknya tidak berlaku. Mereka berdua mungkin tetap menjadi anggota PPAD atau Pepabri. Namun kata 'persatuan' .'persahabatan', 'kekompakan' atau saling bersilaturahmi, tidak berlaku dan tidak dikenal.
Keduanya sekarang ini justru bersaing, saling mengungguli dan saling menyalahkan serta saling menyerang. Mereka bermusuhan secara pribadi maupun politik. Demikian kuatnya permusuhan Wiranto - Prabowo, membuat keduanya menggunakan partai politik - Hanura (Wiranto) dan Gerindra (Prabowo), sebagai sarana.
Permusuhan paling tajam dan mencolok menjelang pelaksanaan Pemilu Legilslatif dan Pemilu Presiden. Prabowo dan Wiranto sama-sama bersaing menjadi Presiden. Tapi yang sensitif soal siapa sebetulnya yang patut disalahkan atas meletusnya apa yang disebut Kerusuhan Mei 1998.
Kerusuhan itu banyak menelan korban warga Indonesia keturunan Chinese selain mahasiwa dan warga sipil lainnya tentunya. Publik sendiri sudah jenuh mendengar perdebatan ini. Karena semakin diperdebatkan dan dibawa ke jalur hukum, semakin sulit menemukan siapa yang bersalah.
Persoalan yang cukup terang benderang, berubah menjadi kabur, keluar dari konteks yang dipersoalkan. Jadi soal Kerusuhan 1998 merupakan isu lama. Tapi menjelang Pemilihan Umum, isu lama ini didaur ulang.
Setelah saling menuding melalui pernyataan, tiba-tiba publik dikejutkan oleh peluncuran film "Patriot". Film yang diproduksi oleh Media Center Partai Gerindra ini, kabarnya menokohkan kepahlawanan Prabowo sebagai Panglima Kostrad pada saat kerusuhan itu terjadi.
Sekalipun belum ditonton Wiranto, namun sudah bisa ditebak, reaksi pendiri partai Hanura itu, pasti merasa tidak nyaman. Karena diedarkan menjelang Pemilu 2014, film itu dapat menjadi 'kampanye hitam' bagi Wiranto dan Hanura pada tahun politik 2014 ini.
Tak Layak Jadi Presiden
Sampai tulisan ini disusun, belum ada tanda-tanda akan terjadi rekonsiliasi antara Wiranto dan Prabowo. Tetapi bukan soal bagaimana kedua pihak agar berrekonsialiasi, yang menjadi isu terpenting. Melainkan sikap Prabowo maupun Wiranto sebagai calon pemimpin, dalam menyelesaikan sebuah masalah rumit dan sensitif.
Mereka tidak menggunakan pendekatan yang membangun persatuan. Padahal bangsa Indonesia saat ini sangat butuh pemimpin yang mampu menggerakkan semangat persatuan. Keduanya justru mengajak bangsa Indonesia membentuk kubu-kubu yang saling bertentangan.
Oleh sebab itu kasus ini menjadi pembelajaran yang cukup berharga bagi bangsa Indonesia. Sebagai pemimpin yang tidak menonjolkan kampanye persatuan, keduanya tidak layak menjadi Presiden RI.
Kalau belum apa-apa sudah berkelahi, sudah mengajak masyarakat membentuk kubu permusuhan, lantas apa fungsi dan peran mereka sebagai pemimpin? Jangan-jangan kerusuhan ala Mei 1998, bisa berulang kembali.
Lagi pula kalau hanya bisa mengelak, cuci tangan dari sebuah persoalan yang dihadapai bangsa, lantas kemampuan apa yang diharapkan dari mereka berdua?
Tanpa mereka sadari, Prabowo dan Wiranto sudah memperlihatkan "kekerdilan" mereka dalam memahami bagaimana bangsa Indonesia melihat sebuah persoalan. Mereka hanya berfikir bagaimana "membeli" simpati tanpa melihat bahwa rakyat pun sudah mampu memilah-,milah.
Dengan mengelak sebagai pejabat militer - dari kasus itu, Prabowo dan Wiranto juga telah bertindak tidak jujur kepada bangsa Indonesia. Setelah hampir 16 tahun kerusuhan yang berbau SARA itu terjadi, rakyat sudah diam.
Dua-duanya masih merasa sebagai putera Indonesia yang paling bersih dan tidak bersalah. Mereka lupa diamnya masyarakat, tidak berarti membenarkan sikap dan tindakan mereka.
Padahal anak-anak SMP saja, yang ketika kerusuhan terjadi, belum lahir, tapi kalau diberi "kata kunci", dengan mudah akan menuding- penguasa militer (TNI) pada waktu itulah yang paling bertanggung jawab.
Hal yang janggal dari permusuhan Prabowo-Wiranto, rakyat "sudah melupakan" peristiwa itu. Publik sudah tidak percaya bahwa investigasi oleh lembaga manapun akan memberi hasil. Sebaliknya keduanya justru menghidupkan lagi luka yang sudah hampir sembuh. Plus keduanya bukan lagi mencari cara bagaimana menyembuhkan luka akibat kerusuhan itu.
Yang mereka kejar agar rakyat manggut-manggut bahwa mereka berdua "innocent". Mereka hanya ingin dicap sebagai tokoh yang paling benar bersih dari segala dosa pelanggaran HAM (Hak Azasi Manusia).
Terlalu, eh keterlaluan!
sumber: inilah.com
Komentar
Posting Komentar