Mawardy Nurdin, Sang Teknokrat yang Telah Berpulang
Innalillahi wa Innailaihi rajiun, Aceh kembali kehilangan putra terbaiknya, yakni Wali Kota Banda Aceh Mawardi Nurdin. Gubernur Aceh Zaini Abdullah memberi gelar almarhum sebagai Bapak Pembangunan Banda Aceh.
Selama kepemimpinan Mawardi, Banda Aceh yang pernah porak-poranda diterjang tsunami akhir 2004, kini maju pesat. Hal itu tak lepas dari kepiawaian Mawardi dalam merancang proyek-proyek pembangunan pascatsunami, sejak menjadi staf ahli Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias hingga menjabat wali kota.
Kesuksesannya dalam membangun Ibu Kota Provinsi Aceh itu, lanjut Zaini, membuatnya sangat dicintai rakyat sehingga tak heran dia terpilih untuk dua kali sebagai wali kota, yakni pada pemilukada 2006 dan 2012.
“Atas dedikasinya, almarhum sangat layak mendapat penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Kota Banda Aceh,” ujar Zaini dalam sambutannya saat memimpin pemakaman Mawardi Nurdin di makam keluarga di kawasan Lamteumen Barat, Banda Aceh, Minggu (9/2/2014).
Dia menilai Mawardi sebagai sosok intelektual, cerdas, bijaksana, pandai bergaul dan membangun komunikasi dengan berbagai pihak. “Meski memiliki kepintaran, tapi almarhum tidak suka menonjolkan dirinya. Almarhum sosok yang tidak banyak bicara dan banyak bekerja,” sebutnya.
Sebelum dimakamkan, jenazah disalatkan di Masjid Raya Baiturrahman. Pemakaman berlangsung secara kenegaraan dihadiri sejumlah pejabat dan warga.
Suasana pemakaman Mawardi (Foto: Salman/Okezone) |
Hadir juga Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Kuntoro Mangkusubroto, pejabat Kementerian Dalam Negeri Tarmizi Karim, dan anggota DPR.
Zaini mengatakan, sejak kecil Mawardi sangat mencintai pendidikan. Setelah menamatkan sekolah dasar hingga menengah atas di kampung halamannya, Sigli, Kabupaten Pidie, ia hijrah ke Jawa untuk kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sebelum meraih gelar master bidang teknik di Australia.
Mantan Kepala BRR Aceh-Nias, Kuntoro Mangkusubroto, punya kenangan tak terlupakan dengan Mawardi saat keduanya sama-sama terlibat dalam membangun Aceh pascatsunami. Mawardi, kata dia, adalah orang paling banyak membantunya kala itu.
“Panduan paling luar biasa sebetulnya adalah (Mawardi) membantu saya untuk menyiasati berbagai macam peraturan perundangan sedemikian, untuk kita membangun Aceh. Tanpa adanya perangkat pada waktu itu kami sangat sulit membangun Aceh kita itu,” terangnya.
Kuntoro pun sepakat Mawardi dijuluki Bapak Pembangunan Banda Aceh. Tanpa jasanya dan perangkat yang ikut diinisiasi ayah empat anak itu, akan sulit melakukan pembangunan saat itu.
“Kenangan paling saya ingat (dari Mawardi) itu pada waktu saya pertama sekali mendarat di sini (sebagai Kepala BRR), saya tidak tahu berkantor di mana, beliau menawarkan kantornya yang persis di ruang kerjanya. Setiap kali saya keluar masuk itu di depan meja dia, itu hal yang sangat luar biasa,” tuturnya.
Tokoh muda Aceh, TAF Haikal, menilai, warga Banda Aceh pantas berkabung atas berpulangnya Mawardi. “Beliau pemimpin yang pekerja keras dan punya konsep dalam membangun," ujarnya.
Salah satu keberhasilan fundamental Mawardi dalam kacamata Haikal adalah kesuksesannya membangun Pasar Atjeh yang awalnya pasar tradisional menjadi pasar yang metropolis modern.
Mawardi, kata Haikal, adalah sosok yang selalu ingin belajar dan tidak egois dalam memimpin. “Beliau selalu mengajak kita untuk berdiskusi mencari konsep pembangunan,” ujarnya.
Untuk itu, dia berharap Wakil Wali Kota Banda Aceh Illiza Saaduddin Djamal bisa melanjutkan pembangunan kota sepeninggal Mawardi. “Saya rasa tidak susah untuk Ibu Wakil wali Kota melanjutkan pembangunan ini, karena Pak Mawardi sudah meninggalkan sebuah fondasi yang kuat untuk pembangunan,” pungkasnya.
Seorang Teknokrat
Alm. Mawardi Nurdin |
Mawardy Nurdin merupakan seorang teknokrat. Ia meraih gelar insinyur di Institut Teknologi Bandung (1978). Pada 1990, suami Ir Nurshanti Adnan ini mengambil magister di University of New South Wales (UNSW) Sydney Australia dan meraih gelar Master Engineering (M.Eng).
Ia memulai karir di Inspektorat Pembangunan Jalan Departemen Pekerjaan Umum pada 1978. Mawardy juga pernah bertugas di Meulaboh, memimpin proyek peningkatan Jalan Bireuen-Takengon.
Mawardy malang melintang di Dinas Pekerjaan Umum, sebelum akhirnya ditugaskan di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh (2000). Setahun di Bappeda, ia ditugaskan sebagai Kepala Bappedalda Aceh pada 2001-2003, hingga akhirnya ditunjuk sebagai Kepala Dinas Perkotaan dan Permukiman Aceh.
Pada 2005, kala Banda Aceh porak-poranda diterjang tsunami, Kementerian Dalam Negeri menunjuk Mawardy sebagai Penjabat Walikota Banda Aceh. Ia menjabat hanya setahun. Pada April 2006, Mawardy terlibat dalam proyek pembangunan kembali Aceh pascatsunami. Ia bergabung dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias.
Pemilihan Kepala Daerah 2006 lalu, Mawardy terjun ke dunia politik dengan mencalonkan diri sebagai walikota berpasangan dengan Illiza Saaduddin Djamal. Mereka diusung oleh Partai Persatuan Pembangunan, Partai Bintang Reformasi, dan Partai Demokrat. Pasangan ini berhasil meraih 32,9 persen suara pemilih di Banda Aceh.
Setelah menghabiskan jabatan periode pertama, 2011, Mawardy dan Illiza kembali maju ke pilkda. Mereka kembali terpilih untuk kedua kalinya.
Di pentas nasional, Mawardy Nasional pernah menjabat sebagai Exco Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia. Namun pada Juni 2013 lalu, ia diberhentikan dari jabatan tersebut karena dinilai melanggar ketentuan PSSI akibat konflik dualisme PSSI yang tak kunjung berakhir.
Pria kelahiran Sigli, Pidie 60 tahun lalu ini meninggal karena komplikasi penyakit antara lain gagal ginjal, paru-paru, jantung, dan lainnya yang dideritanya hingga terserang kanker Leukimia sejak beberapa tahun terakhir.
Mawardy meninggalkan seorang istri bernama Nurshanti Adnan dan empat orang anak, yaitu Riza Adrial Sandy (29), Almer Hafis Sandy (26), Kevin Ramadhan Sandy (21), dan Salsabila Charissa Media (17).
Selamat jalan Bang Mawardy...
Komentar
Posting Komentar