Aceh-Soekarno, Setangkai Payung yang Patah
LAPANGAN Terbang Lhok Nga, Aceh Besar, 15 Juni 1948. Ribuan rakyat berkumpul mengelu-elukan pendaratan satu pesawat Dakota sewaan.
Dari lambung burung besi itu muncullah Presiden Sukarno, sejenak menebar pandang ke seputar massa, lalu setapak demi setapak menuruni tangga pesawat. Hari itu sejarah mencatat: ini kunjungan pertama Bung Karno ke Tanah Rencong.
Republik, ketika itu, sedang didera urusan gawat. Setahun sebelumnya Indonesia digoyang agresi kolonial Belanda. Sebagian besar wilayah telah diduduki, kecuali Aceh dan Yogyakarta.
"Perjuangan di Medan Area dan Aceh telah memperkuat posisi Indonesia di tingkat internasional," tutur Amran Zamzami, 74 tahun. Bekas tentara pelajar dan tokoh Aceh yang kini bermukim di Jakarta ini menjadi saksi hidup kunjungan bersejarah itu.
Di bandar udara itu pula rakyat Aceh menyambut Bung Karno dengan gemuruh pekik, "Merdeka!" Para petinggi Aceh pun menyapanya dengan senyum terkembang.
Di ujung tangga pesawat, ada Residen Aceh, Teuku Muhammad Daudsyah. Dia ditemani "orang kuat" Serambi Mekah: Daud Beureueh, Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Daud, yang berpakaian lengkap layaknya opsir militer, menyalami Sukarno dengan akrab. Mereka saling membungkuk hormat.
Saat itu, Amran bercerita, Indonesia belum lepas dari ancaman Belanda. Pertempuran besar bisa meledak kapan saja. Tapi di Aceh keadaannya berbeda. Sebagai gubernur militer, Daud Beureueh ternyata mampu mengatasi situasi. Aceh relatif aman dan tertib.
Pemerintah Aceh di sana bahkan mampu membuka kontak dagang dengan luar negeri. Tak salah jika Bung Karno menabalkan Aceh sebagai "modal Republik".
Esoknya, di Kutaradja-kini Banda Aceh-satu defile bersenjata digelar oleh Divisi X TNI, kesatuan yang terkenal garang menyerang Belanda dan Jepang di Aceh. Puluhan ribu rakyat merayakan pawai militer itu. Dan pidato Sukarno pun dengan cepat menyihir mereka.
"Tidak salah sangka aku. Semangat Aceh memang bergelora, menjadi modal bagi perjuangan bangsa," ujar Bung Karno.
Selain Kutaradja, Bung Karno juga singgah ke Sigli dan Bireuen. Di Kuta Asan, Sigli, dia menghimpun rakyat di lapangan. Di Bireuen, Aceh Utara, Bung Karno membakar lagi:
"Sengaja aku datang ke Aceh untuk menjemput semangat juang rakyat Aceh, untuk kita jadikan modal merebut kembali wilayah RI yang diduduki Belanda."
Pujian, atau lebih tepat agitasi, itu kelihatannya menjadi misi Sukarno ke Aceh. Wilayah ini bagai seteguk tonik bagi Republik. Dan, tentu saja, dalam pusaran revolusi kemerdekaan di Aceh, peranan Daud-kerap disapa Abu Beureueh-sangatlah kuat.
Peneliti sejarah asal Selandia Baru, Anthony Reid, mengatakan, sejak uleebalang tersingkir akibat revolusi sosial di Aceh, posisi ulama kian kuat di bawah Beureueh. Aceh, tulis Reid, menjadi daerah Islam yang unik, sekaligus "salah satu contoh revolusi sosial yang berhasil".
Cerita sukses itu membuat pemerintah pusat, selama aksi militer Belanda pertama pada 1947, mengangkat Beureueh sebagai gubernur militer.
"Ia satu-satunya orang tanpa pendidikan Belanda atau Jepang yang menerima pengangkatan begitu tinggi selama revolusi," tutur Reid dalam bukunya, Revolusi Nasional Indonesia.
Sukarno tampaknya sangat bergairah saat berkunjung ke Aceh itu. Dia bertemu pemuda dan pelajar Aceh di Gedung Bioskop Garuda, Kutaraja.
Di sana, ia berseru: "Insya Allah, sekalipun Republik kita tinggal setangkai payung, tangkainya di Aceh, payungnya di Yogyakarta, Aceh dapat dijadikan daerah modal untuk merebut kembali wilayah Republik yang kini diduduki Belanda!"
Puncak lawatan politik itu tentu saja pertemuan antara Bung Karno dan Beureueh. Arkian, sehari sebelum bertolak kembali ke Yogyakarta, Bung Karno menerima para ulama di pendopo keresidenan.
Beureueh didampingi dua tokoh penting Aceh lainnya: Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri dan Teungku Hasan Krueng Kalee.
Pada 15 Oktober 1945, hanya dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, tiga ulama itu turut menandatangani "Makloemat Oelama Seluruh Atjeh".
Isinya, mengajak seluruh rakyat Aceh berdiri di belakang "mahapemimpin Sukarno, untuk menunggu perintah dan kewajiban yang akan dijalankan". Pernyataan itu disebar ke seluruh Aceh dengan menegaskannya sebagai perjuangan suci: "perang sabil".
Sekarang, sang proklamator cuma pemimpin Republik itu ada di depan mata. Di pendopo itu kembali Sukarno minta kepada Beureueh agar Aceh mempertahankan Republik Indonesia sampai tetes darah terakhir. Mungkin inilah "perintah dari mahapemimpin" itu.
Beureueh menjawabnya mantap: "Saudara Presiden, kami rakyat Aceh dengan segala senang hati memenuhi permintaan itu."
Tapi, seperti dikutip oleh M. Nur El Ibrahimy, menantu Beureueh yang kini telah sepuh itu, Beureueh memberi syarat: perang itu untuk menegakkan agama Allah.
"Kalau ada di antara kami mati terbunuh dalam perang itu, maka berarti mati syahid," ujar Beureueh seperti ditirukan Ibrahimy.
Bung Karno menjawab: "Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti dikobarkan oleh pahlawan Aceh seperti Teungku Cik di Tiro, perang yang tak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid."
"Kalau begitu, kedua pendapat kita sudah bertemu, Saudara Presiden," kata Beureueh.
Lalu, dia segera memohon agar Sukarno kelak memberi kebebasan kepada Aceh untuk menjalankan syariat Islam.
"Kakak (panggilan Bung Karno kepada Beureueh-Red.) tak usah khawatir. Sebab, 90 persen rakyat Indonesia beragama Islam."
Tapi Beureueh mendesak agar ada semacam ketentuan tertulis yang bisa menjadi jaminan. "Maafkan saya, Saudara Presiden. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Anda."
Sukarno setuju. Tapi dia terkejut ketika Beureueh menyodorinya secarik kertas. Rupanya, dia meminta Sukarno menuliskan sesuatu. Mendengar permintaan itu, Bung Karno menangis terisak-isak.
"Air mata sampai membasahi pakaiannya," tutur Ibrahimy.
Sukarno juga mutung. Dia merasa tak berguna sebagai presiden, karena Beureueh tak percaya kepadanya.
Beureueh menjawab: "Bukan kami tak percaya. Sekadar tanda untuk diperlihatkan kepada rakyat Aceh yang kami ajak berperang."
Bung Karno lalu mengucapkan satu kalimat, yang di belakang hari menjadi duri dalam hubungannya dengan Beureueh.
"Wallah billah, kepada daerah Aceh nanti akan diberikan hak menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan syariat Islam," begitu ujar Sukarno.
Menurut Ibrahimy, Abu tak lagi minta jaminan karena "iba melihat Presiden menangis terisak-isak".
Setahun kemudian, Beureueh membuktikan kesetiaannya kepada Republik. Ketika Wali Negara Sumatera Timur, dr. Teungku Mansyur, menawarkan kepada Aceh menjadi bagian dari Negara Sumatera, dia tegas menolak. Sikapnya termuat dalam surat kabar Semangat Merdeka yang terbit di Kutaradja, 23 Maret 1949.
"Perasaan kedaerahan di Aceh tak ada. Sebab itu kita tak bermaksud membentuk suatu Aceh Raya dan lain-lain. Kita di sini adalah bersemangat republiken," ujar Beureueh. Tapi, dua tahun setelah kunjungan Sukarno itu, kegelisahan mulai bertiup.
Status provinsi bagi Aceh, yang telah dikukuhkan oleh Pemerintah Darurat Republik Indonesia pada Desember 1949, mulai digugat.
Soalnya, ada penataan baru status provinsi. Pemerintah memutuskan meleburkan Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Untuk mempertahankan provinsi otonomi, Beureueh sempat melobi Sukarno-walaupun sia-sia. Mohammad Hatta juga berkunjung ke Aceh menjelaskan pentingnya penggabungan itu. Akhirnya, Provinsi Aceh dibubarkan pada Januari 1951.
Kegelisahan kian tajam ketika Sukarno berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan, pada 27 Januari 1953. Di sana ia menolak Islam sebagai dasar negara.
"Yang kita inginkan adalah negara nasional yang meliputi seluruh Indonesia," ujar Sang Presiden.
Saat itu memang ada program politik nasional merebut Irian Barat. Negara Islam, menurut Sukarno, akan membuat Irian Barat tak mau jadi bagian dari Republik. Beureueh menilai Sukarno ingkar janji. Sementara itu, di pusat, perdebatan soal Islam sebagai dasar negara kembali marak.
Ucapan Presiden itu juga menyinggung sejumlah partai politik Islam, seperti Masyumi dan Nahdlatul Ulama.
Sukarno mulai menuai hujan kritik. Tapi Beureueh tampaknya tak bernafsu lagi dengan hiruk-pikuk politik di pusat itu. Dia mungkin sedang mempertimbangkan kembali "Makloemat Oelama" dulu, dan janji si Bung bahwa Aceh adalah daerah modal, walau Indonesia tinggal "setangkai payung".
Pada 21 September 1953, payung itu pun menutup. Bagi Beureueh tidak ada kata lain: lawan!, Beureueh pun memilih jalan: Menggelorakan pemberontakan Darul Islam (Negara Islam).
Tempo Edisi 18-24 Agustus 2003. Patahnya Setangkai Payung. Hal 49
Komentar
Posting Komentar