Tatkala Syekh Qardhawi Akui Kesalahan Fatwanya
Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri (*
Syekh Dr Yusuf Qardhawi adalah ulama besar Sunni. Ia merupakan ketua Persatuan Ulama Dunia. Doktor fikih dari Universitas Al Azhar, Kairo, kelahiran 9 September 1926 di desa kecil bernama Shafth di tengah Delta Nil, Mesir, ini telah menulis puluhan buku dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Pandangannya selalu menjadi fatwa dan rujukan umat Islam dunia. Fatwa-fatwanya bukan hanya seputar ibadah dan muamalah, tapi juga mencakup berbagai masalah, dari politik, demonstrasi hingga revolusi rakyat melawan rezim penguasa yang zalim.
Qardhawi bahkan tidak hanya berfatwa, tapi juga ikut aktif dalam kegiatan politik. Itulah sebabnya, ketika pecah revolusi rakyat Mesir untuk menjatuhkan rezim Presiden Husni Mubarak pada awal 2011, ia pun terbang dari Qatar (tempatnya bermukim) ke Kairo. Ia bergabung dengan rakyat Mesir ikut berdemonstrasi. Selain memberi orasi di depan para demonstran, ulama berusia 87 tahun itu juga memimpin shalat Jumat di lapangan Tahrir. “Mubarak harus mundur dari kursi presiden,” katanya dalam khotbah Jumat, ketika itu. Alasannya, rakyat telah mencabut mandatnya kepada sang pemimpin Mesir itu.
Terhadap konflik di Suriah, Qardhawi juga mengeluarkan fatwa mengenai boleh dan tidaknya unjuk rasa melawan rezim penguasa. Menurutnya, menjatuhkan sebuah rezim dibolehkan alias halal manakala ada kezaliman dan penghilangan terhadap hak asasi manusia. Atas dasar itu, Qardhawi yang hafal Alquran pada usia 10 tahun ini memperbolehkan aksi unjuk rasa, bahkan revolusi melawan penguasa yang dianggap zalim, terutama mereka yang menyengsarakan rakyat, seperti rezim Presiden Bashar Assad.
Barangkali, karena fatwanya yang memperbolehkan menjatuhkan rezim Assad itulah Syekh Qardhawi kemudian mengakui kesalahan fatwa sebelumnya yang pernah ia ucapkan. Pada 2006, Qardhawi menyatakan wajib hukumnya mendukung Hizbullah dan pemimpinnya, Syekh Hasan Nasrullah dalam menghadapi serangan Israel ke Lebanon.
“Saya pernah membela-selama bertahun-tahun-Hasan Nasrullah yang menamai partainya Partai Allah (Hizbullah), padahal partai itu adalah partai tirani (thoghut) dan partai setan. Mereka membela Bashar Assad,” katanya dalam sebuah pidato di Qatar, beberapa hari lalu.
“Saya (waktu itu) harus berlawanan dengan para ulama dan syekh besar di Arab Saudi untuk membela Hizbullah. Namun, ternyata para syekh (ulama) Saudi lebih dewasa daripada saya. Mereka berpandangan lebih jauh ke depan. Mereka (ulama Saudi) terbukti mengetahui siapa sebenarnya Hizbullah itu,” lanjut Qardhawi mengoreksi fatwanya yang pernah mendukung Hizbullah dan Hasan Nasrullah.
Dalam konflik di Suriah sekarang ini, Hasan Nasrullah secara terang-terangan menyatakan mendukung rezim Bashar Assad yang dinilai Qardhawi sebagai penguasa zalim. Tentara Hizbullah dan Bashar Assad saling membantu merebut Kota Qusair dari tangan para pejuang revolusi Suriah. Qusair adalah kota strategis bagi Assad untuk mempertahankan kekuasaannya. Pasukan Assad menyerang dari udara, sementara tentara Hizbullah dari darat. Puluhan orang tewas dalam pertempuran ini. Sebagian besar adalah para pejuang revolusi Suriah.
Syekh Qardhawi bukan hanya mencabut fatwa dukungannya terhadap Hasan Nasrullah dan Hizbullah, melainkan juga terhadap Iran. Katanya, dalam sebuah pidato di Qatar, “Selama ini dan sudah berlangsung bertahun-tahun saya menyerukan pendekatan antarmazhab (taqrib bainal madzahib). Untuk itu, saya terbang ke Iran saat dipimpin Presiden Mohammad Khatami. Mereka telah menertawakan saya dan banyak orang seperti saya. Mereka sebenarnya berpura-pura ketika menginginkan pendekatan antarmazhab.”
Pengakuan Syekh Qardhawi mengenai kesalahan fatwanya tadi kontan saja menjadi berita besar di berbagai media Arab, baik cetak, online, maupun televisi. Bukan hanya menjadi berita, mereka juga menurunkan berbagai ulasan dari sudut pandang yang berbeda-beda. Tapi, intinya hanya satu bahwa para ulama dan pemimpin Arab, terutama dari negara-negara Teluk, kini dihantui kekhawatiran mengenai semakin meluasnya pengaruh Syiah di kawasan Timur Tengah. Mereka munuduh Iran ingin menciptakan poros Syiah Teheran-Damaskus-Beirut. Apalagi, Iran selama ini secara terang-terangan juga membela rezim Presiden Bashar Assad.
Menurut pengamat Timur Tengah Abdul Rahman Al-Rasyid, Syekh Qardhawi tidak salah ketika melemparkan keinginannya untuk mendekatkan mazhab-mazhab dalam Islam. Ia juga tidak salah ketika menyerukan perlunya saling bahu-membahu antarpemimpin Muslim. Ide Syekh Qardhawi, lanjut Al-Rasyid, adalah sangat baik dan terpuji. Yang salah adalah ia (Qardhawi) kurang memahami strategi politik yang dimainkan oleh para pemimpin negara-negara di Timur Tengah, terutama para pemimpin Iran.
Yang jelas, pernyataan Syekh Qardhawi yang mencabut fatwa dukungannya terhadap Hizbullah di Lebanon Selatan dan Syekh Hasan Nasrullah serta keraguannya terhadap pendekatan antarmazhab dengan para ulama Iran akan berpengaruh luas terhadap perkembangan di kawasan Timur Tengah. Kawasan panas ini akan terus bergolak. Bukan hanya menghadapi penjajahan dan pendudukan oleh Zionis Israel, tapi juga kekhawatiran terjadinya gesekan antara penganut Sunni dan Syiah, seperti yang kini sedang berlangsung di Irak, Suriah, Lebanon, dan Bahrain. Wallahu a'lam.
Komentar
Posting Komentar