In Memoriam: Hasan Tiro, Bapak Revolusi Aceh
Genap 3 tahun berpulang ke Rahmatullah, Dr Hasan Muhamamd di Tiro. Karena itu, saya ingin mengulas sedikit kembali perjalanan hidup tokoh kontemporer Aceh yang kerap disapa ‘Wali’ ini.
*M. Adli Abdullah (*
MASIH segar dalam ingatan kita, cucu pejuang Aceh Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman itu wafat dalam usia 85 tahun pada Kamis, 3 Juni 2010 di Rumah Sakit Umum dr Zainoel Abidin, Banda Aceh. Lalu pada sore harinya, lawan tangguh enam presiden Indonesia itu dimakamkan di samping kuburan kakeknya, Chik di Tiro di Gampong Meureu, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar.
Diakui atau tidak, Hasan Tiro berhasil membangun semangat keacehan. Dan pada hari ini tiga tahun yang lalu, ayah Karim Tiro itu kembali ke alam damai. Hasan Tiro pergi tanpa mewariskan harta benda. Padahal awalnya, Hasan Tiro punya apa-apa dalam arti memiliki istri yang cantik, anak yang ganteng, harta dan koneksi yang cukup di New York, Amerika Serikat.
Namun pada akhirnya, anak pasangan Tengku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah ini apa-apa pun tidak punya secara materi. Tidak memiliki rumah pribadi, mobil yang mewah, dan fasilitas yang wah. Keadaan ini berbanding terbalik dengan sebagian yang mengaku anak-anak ideologis sang Deklarator Aceh Merdeka itu kini.
Virus kesadaran
Satu warisan paling berharga yang ditinggalkan oleh Wali yang lahir di Tiro pada 25 September 1925 ini adalah kemampuannya menyuntikkan virus kesadaran bahwa Aceh adalah sebuah bangsa berdaulat, bukan biek lamiët (bangsa budak). Hasan Tiro mengarisbawahi kita boleh kehilangan harta dan takhta, namun tak boleh kehilangan harga diri (dignity) sebagai sebuah bangsa.
Dalam hal ini, saya terkesima membaca pernyataan aktivis perempuan dari Malaysia, Lilianne Fan. Kutipan ini saya temukan dalam buku biografi Hasan Tiro yang berjudul Jalan Panjang Menuju Damai Aceh. “Our fight is not about power, it is about dignity. It is only when all Acehnese have our dignity restored that we will be free,” kata Hasan Tiro kepada Lilianne Fan di Norsborg, Stockholm, Swedia, 23 September 2004.
Makna pernyataan tersebut yakni perjuangan kami bukan untuk kekuasaan, tetapi untuk sebuah harga diri. Hanya pada saat seluruh rakyat sudah mempunyai harga diri, pada saat itulah ia akan merdeka.
Tak pelak, aktivis yang sering bolak-balik Malaysia, Aceh dan seluruh dunia untuk mengabarkan nestapa Aceh itu menetes air mata mendengar ucapan langsung Hasan Tiro. Aktivis beretnik Cina ini sangat peduli pada derita rakyat Aceh. Saya yakin, hampir semua orang Aceh di Malaysia mengenal sosok perempuan berambut panjang dan murah senyum ini.
Ungkapan yang bernada sama pernah pula diungkapkan oleh Hasan Tiro dalam bukunya The Price of Freedom di mana Wali mengumpamakan dirinya dengan Kaisar Romawi, tetapi yang membedakan dia dengan sang Kaisar hanyalah:
Ceasar had a legion with him. I have nothing. I come back alone-un-armed. I have no instrument of power. I brought only a message that of national salvation and survival of the people of Acheh Sumatra as a Nation, and a reputation of a Tiro-man. (Kaisar punya pasukan, sedangkan saya tak punya apa-apa. Saya hanya membawa pesan untuk bangkitnya rakyat Aceh dan mengembalikan nama baik sebagai anak Tiro).
Pada 4 September 1976, Hasan Tiro meninggalkan istri yang cantik, Dora, dan bocah kecil semata wayang yang sangat tampan, Karim, serta dunia bisnis yang sedang digelutinya baik di AS, Eropa, Timur Tengah, Afrika maupun Asia Tenggara untuk terbang ke tanoh endatu, Aceh. Padahal dia sudah hidup mewah di Amerika Serikat. Ia memilih pulang demi marwah bangsa Aceh. Cita-citanya tidak ada lagi orang Aceh miskin yang hidupnya mengemis ke sana ke mari.
Di New York, Hasan Tiro bisa minum Coca-cola atau jalan bebas ke mana pun karena dia berstatus penduduk tetap (permanent residence) Amerika Serikat. Sebaliknya selama dua tahun lebih di rimba Aceh, Hasan Tiro menderita karena sering berpindah-pindah, makan tak cukup bergizi, dan berteman nyamuk bersama rekan-rekan seperjuangannya.
Hasan Tiro pulang dengan membawa segepok bekal yang akan ditularkan kepada rakyat Aceh, yakni ideologi turie droe dan tusoe droe, dan tidak rendah diri (imperiority complex) saat berhadapan dengan bangsa lain. “Aceh mesti jaya seperti pada masa Sultan Iskandar Muda,” ungkapnya.
Hal itu bisa terjadi jika mayoritas kita orang Aceh berpendidikan dan punya sikap dalam hidup, cinta negeri, serta memiliki kaum intelektualyang punya ideologi keacehan yang jelas serta berani menyatakan yang benar walaupun itu pahit.
Mungkin kalau Hasan Tiro bisa bangkit kembali dari alam kubur, dia akan ingatkan kita tentang bagaimana sengsaranya rakyat dan para pejuang selama 30 tahun lebih di hutan Aceh, berbagi makanan sama rata, satu telur asin dimakan bersama, nasi dicampur dengan boh janeng.
Tetapi pria brilian dan bernyali besar itu sungguh akan menangis melihat perilaku kita saat ini. Di mana rakyat di pedalaman masih hidup menderita dengan penuh derai air mata, karena gagal panen, didera banjir, dan susah mencari rezeki.
Di pihak lain, pascadamai 15 Agustus 2005 ada di antara kita yang bertransformasi menjadi preman gampong, mengkhianati bangsa, melupakan sumpah perjuangan, dan hidup mewah di tengah gemerlap nikmat duniawi. Kehidupannya bak seorang raja di tengah teman seperjuangannya yang masih bercucuran air mata.
Terlena simbolik
Perjuangan yang berujung damai ini telah mempolarisasi kita menjadi dua kelompok; yang “bermata air” dan yang “berair mata”. Kalau Wali masih bisa hidup kembali, dia akan ingatkan kita pada sumpah perjuangan yang tidak boleh lekang oleh waktu bahwa perjuangan tujuannya untuk kemakmuran bangsa Aceh.
M. Adli Abdullah Bawareth |
Mengenang tiga tahun berpulangnya “Bapak Revolusi Aceh” ini dengan mengingatkan apa saja yang telah dilakukan oleh mantan pemanggul senjata kepada rakyat. Di sisi lain, rakyat pun menyadari bahwa Hasan Tiro telah mendidik warga untuk memiliki harga diri. Satu bentuk marwah tersebut adalah tidak menjadi pengemis harta, uang, hingga pengemis kekuasaan, mengabaikan marwah dan menggadaikan harga diri.
*M. Adli Abdullah, Pencinta para pejuang bangsa.
Komentar
Posting Komentar