Zaini Abdullah Blak-Blakan Soal Masa Depan Aceh
Perubahan politik yang luar biasa di Aceh, telah mengantar seorang bekas ‘pemberontak’ menjadi penguasa nomor satu di wilayah itu.
Lebih dari tiga puluh lima tahun silam, atas nama kecintaannya pada tanah Aceh, Zaini Abdullah bergabung dengan Hasan Tiro yang memproklamasikan Gerakan Aceh Merdeka, GAM.
Dokter lulusan Universitas Sumatera Utara, Medan, yang saat itu sudah menjadi Kepala Rumah sakit kecil di Kuala Simpang, Aceh Timur, kemudian harus 'bersembunyi' di hutan-hutan di pedalaman Aceh.
Dikejar-kejar TNI dan aparat intelijen Indonesia, Doto --demikian panggilan akrabnya-- kemudian memutuskan mengungsi ke Singapura, sebelum meminta suaka ke Swedia.
Dari sebuah apartemen mungil miliknya di Swedia, semenjak tahun 1980-an, Zaini Abdullah mendampingi pemimpin GAM, Hasan Tiro, melakukan perlawanan menghadapi pemerintah Indonesia, saat itu.
"Dia seorang intelektual, dia bisa menjadi teman diskusi Hasan Tiro. Dia juga salah-seorang kepercayaan Hasan Tiro," kata Murizal Hamzah, wartawan senior asal Aceh yang kini sedang merampungkan buku biografi Hasan Tiro.
Menurutnya, Zaini Abdullah dan Malik Mahmud adalah dua orang kepercayaan Hasan Tiro. "Dua orang itu disebut setelah Hasan Tiro, ya Malik Mahmud dan Zaini Abdullah," kata Murizal.
Kepercayaan Hasan Tiro ini kemudian terbukti ketika Zaini dan Malik Mahmud terlibat dalam perundingan GAM dengan Indonesia sejak awal tahun 2000.
Melalui perubahan politik yang luar biasa, menyusul perjanjian damai Helsinki 2005, pria kelahiran 1940 ini terpilih sebagai Gubernur Aceh semenjak dua tahun lalu.
Ya, Zaini Abdullah, tidak lagi menjadi pesakitan yang dikejar-kejar TNI atau aparat intelijen ketika konflik bersenjata masih melanda wilayah Aceh.
Namun demikian di masa damai sekarang, Zaini dihadapkan berbagai persoalan yang tidak kalah pelik.
****
SEMENJAK dua tahun silam, dokter Zaini Abdullah, yang akrab di sapa 'Doto', bekas Menteri luar negeri Gerakan Aceh Merdeka, GAM, terpilih menjadi Gubernur Aceh melalui pemilu daerah yang demokratis.
Ini adalah salah-satu buah termanis yang bisa dipetik, setelah Indonesia dan GAM memilih mengakhiri konflik bersenjata, pada Agustus 2005 silam.
Difasilitasi bekas pemimpin Finlandia yang kharismatis, Martti Ahtisaari, kedua pihak meneken perjanjian damai di Helsinki, yang pasal-pasal didalamnya seperti obat mujarab dalam mengobati luka-luka sejarah di Aceh.
Dengan harapan untuk melihat ke depan, “obat mujarab” itu ternyata bukanlah omong kosong, walaupun dalam perjalanannya hampir selalu muncul persoalan baru di wilayah bekas konflik.
Dalam pidato terakhirnya, ketika kali pertama tiba di tanah kelahirannya pada 2008, pendiri GAM yang sangat dihormati masyarakat Aceh, Hasan Tiro, berkata: “… Memang, biaya perang sangat mahal, akan tetapi biaya memelihara perdamaian jauh lebih mahal. Peliharalah kedamaian ini untuk kesejahteraan kita semua…”
Pidato Hasan Tiro, yang disampaikan di tempat penting dan bersejarah bagi Aceh, yaitu di Masjid Raya Baiturrahman, masih menggema sampai sekarang.
Gema itu pula yang terus dipantulkan oleh Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh pertama setelah perdamaian, dan kini dilanjutkan penggantinya, Zaini Abdullah, setelah sang Wali, Hasan Tiro, meninggal dunia pada 2010 lalu.
Di sinilah, jika mau jujur, sepertinya tidak ada kata lain yang lebih “keramat” di Aceh sejauh ini, kecuali kata “perdamaian”. Tapi itu dulu. Belakangan bertambah satu kata lagi yaitu “pembangunan”.
Zaini menyadari hal itu – juga rakyat Aceh menyadarinya pula, dan terus menuntutnya.
Dalam peringatan delapan tahun perdamaian Aceh pada 2013 lalu, Zaini bersumpah di Masjid Baiturrahman: “Tidak ada perdamaian tanpa dibarengi dengan pembangunan, demikian juga sebaliknya.”
Di rumah dinasnya di Banda Aceh, yang sering disebut Pendopo, Zaini Abdullah kembali menggemakan dua kata itu: “Itu rahmat Allah kepada orang Aceh dengan tercapainya perjanjian damai,” katanya kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Selasa, 8 April 2014 lalu, bersama tiga wartawan lainnya.
“Dan momentum ini tentu harus berlanjut,” katanya lagi.
Pendiri GAM, Hasan Tiro, diabadikan saat bergerilya di pedalaman Aceh di tahun 1970-an.
Dan saat ini, dua tahun di bawah kepemimpinan Zaini Abdullah, dan hampir sepuluh tahun setelah jalan damai ditempuh, Aceh menggantungkan harapan begitu tinggi pada pria kelahiran 1940 ini.
Namun harapan yang sebagian sulit dijangkau itu kadang-kadang membuat masyarakat Aceh seperti putus asa, ketika Zaini dihadapkan persoalan yang tak kunjung tertangani.
Sebutlah, pertikaian internal di kalangan elit eks GAM belakangan ini dan hubungan dengan Jakarta yang belum sepenuhnya mulus lantaran saling curiga– akibat residu sisa-sisa konflik masa lalu.
Rentetan kekerasan 'Ingin citra Aceh buruk'
Kejadian kekerasan di Aceh pada masa kampanye merupakan bagian dari rentetan kekerasan terjadi dalam empat bulan terakhir. Akhir Maret sekelompok pria bersenjata simpatisan Partai Aceh di Bireuen, Aceh, dan menewaskan tiga orang termasuk seorang bocah.
Sejumlah simpatisan Partai Aceh, PA dan Partai Nasional Aceh, PNA, yang keduanya merupakan penjelmaan Gerakan Aceh Merdeka dan kini saling bersaing, tewas ditembak kelompok orang tidak dikenal.
Beberapa analisa menyebutkan persaingan antara kedua partai lokal ini merupakan salah-satu sumber penyebab kekerasan di balik aksi rentetan kekerasan tersebut.
Apa komentar Zaini Abdullah terhadap aksi-aksi kekerasan di Aceh menjelang Pemilu legislatif 2014 lalu?
Ada pihak-pihak yang menginginkan kekacauan di Aceh, kata Zaini.
“Sehingga ada citra orang-orang luar (menganggap) cukup buruk untuk Aceh,” katanya. Pihak-pihak ini menurutnya menginginkan pemerintahan Aceh berantakan.
“Agar saya tidak berkemampuan untuk memimpin Aceh,” katanya. Dia tidak pernah menyebut siapa di balik aksi-aksi kekerasan itu, namun dia yakin aparat keamanan mampu mengamankan pemilu.
“Ini 'kan dipantau oleh semua pihak. Dalam hal ini pemerintah pusat telah mengirimkan ekstra pengamanan. Sudah cukup banyak badan intelijen di sini (Aceh),” katanya.
Menurutnya, ada pihak-pihak tertentu yang membesar-besarkan masalah keamanan di Aceh, sehingga masyarakat luar negeri melihat Aceh "tidak aman." .
Padahal, "tidak demikian kenyataannya," kata Zaini seraya mencontohkan, ketertarikan investor asing asal Australia, Malaysia dan Turki untuk bekerja sama dengan Aceh di bidang ekonomi.
Koalisi dengan Prabowo
Koalisi yang ditawarkan calon presiden Partai Gerindra, Prabowo Subianto dengan Partai Aceh, sempat menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat Aceh.
Prabowo Subianto sempat datang ke sebuah acara Gerindra di Aceh dan dia mengatakan meminta maaf atas apa yang terjadi di Aceh di masa konflik bersenjata.
Dalam acara itu, Prabowo disambut oleh Ketua Umum Partai Aceh, Muzaki Manaf yang juga Wakil Gubernur Aceh.
Sebagian korban dugaan pelanggaran HAM dan pegiat LSM di Aceh mempertanyakan kesepakatan politik itu, mengingat latar dan peran Prabowo di masa pemberlakuan operasi darurat militer di Aceh.
Dalam wawancara dengan beberapa wartawan sebelum pemilu legislatif 2014 lalu, Zaini Abdullah tidak mau berkomentar panjang tentang kesepakatan politik Partai Aceh dengan Partai Gerindra dalam pemilu Presiden Juli nanti.
"Terserah kepada rakyat Aceh," kata Zaini agak diplomatis. "Itu saya serahkan kepada rakyat sendiri memilih alternatif mereka," katanya lagi.
Menurutnya, konflik bersenjata di Aceh memakan waktu yang lama, sehingga masyarakat di wilayah itu sulit melupakannya. "Kita tidak boleh memaksakan kehendak kepada rakyat yang saya cintai," tambahnya.
Polemik Bendera Aceh
Setelah terpilih menjadi Gubernur Aceh, Zaini mengaku kendala terbesar yakni belum tuntasnya regulasi-regulasi yang penting menyangkut Aceh.
Menurut Zaini, seharusnya regulasi tersebut telah tuntas paling telat 2008, namun yang terjadi tidak demikian.
Ia berharap seluruh regulasi yang diamanahkan dalam MoU Helsinki segera selesai sebelum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun dari jabatan.
"Sebenarnya subtansi ini adalah instruksi dari Presiden, tapi banyak kementrian-kementrian belum tahu itu arti MoU," ungkap Zaini.
Termasuk sengketa Bendera Aceh yang sampai saat ini belum ada kejelasan.
Menurut Zaini, Bendera Aceh adalah salah satu subtansi yang tercantum di dalam Mou Helsinki. Zaini mengatakan, sebenanya soal Bendera ini serupa dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Ia mencontohkan Bendera DKI Jakarta, Bendera Ternate, Bendera Bali dan Jogyakarta.
"Di daerah-daerah itu tidak ada ribut-ribut soal bendera, kenapa di Aceh harus ribut?," ujar Zaini mempertanyakan.
"Bukan karena hal bendera ini, Aceh ingin memisahkan diri. Ini tafsir yang salah," ungkap Zaini Abdullah.
Zaini mengatakan, persoalan bendera berdasarkan Qanun (Perda), Sementara Qanun sesuai dengan UUD 1945 pasal 18. "Seharusnya sudah sah (bendera) itu," tuntasnya.
Ia mengakui persoalan tersebut membutuhkan diskusi yang cukup lama, Zaini bahkan harus berkali-kali bertemu dengan Presiden SBY dan Menteri Dalam Negeri untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
"Oke, kita (Pemerintah Aceh) mengikuti apa yang disarankan (cooling down)."
"Mungkin yang mereka (Indonesia) mau adalah menggunakan jalan 'win-win solution', kita akan duduk lagi mnyelesaikan persoalan ini," tambah Zaini.
‘Tipu-Tipu Sukarno’
“Jangan sampai ‘tipu Sukarno’ kembali terulang!” teriak Zaini Abdullah, di hadapan massa saat berkampanye pemilu legislatif, Minggu, 6 April 2014, untuk Partai Aceh di Pidie, Aceh.
Kritik keras ini jelas diarahkan ke Jakarta, yang disebut Zaini belum menuntaskan sejumlah ‘pekerjaan rumah’ hasil kesepakatan damai Indonesia-GAM di Helsinki, Agustus 2005.
“Ini bukan penghinaan, tapi kenyataan,” kata Zaini di ruangan kerjanya, menjawab pertanyaan wartawan tentang pernyataannya itu.
Istilah ‘Tipu Sukarno’ ini merujuk kepada kebijakan Presiden Sukarno yang dianggap ingkar janji untuk mengizinkan pemberlakuan otonomi khusus di Aceh.
“Bung Karno saat itu tidak menunjukan komitmen beliau, yang sudah dijanjikan kepada almarhum Daud Beureuh,” kata Zaini.
“Makanya ketika Daud Beureuh tidak puas, terjadilah pemberontakan DI/TII,” kata Zaini, dengan kalimat tegas.
Sukarno justru membubarkan Divisi X TNI di Aceh dan mencabut status provinsi Aceh dan menggabungkannya dalam Provinsi Sumatra Utara.
'Jakarta jangan Ingkar'
Menurut Zaini, seharusnya pemerintah pusat sekarang tidak mengulangi ‘tipu Sukarno’ terkait pelaksanaan sejumlah pasal dalam kesepakatan damai Helsinki.
Dia menyayangkan sikap pemerintah pusat yang seharusnya membuat peraturan pelaksana dari perjanjian itu pada 2008 lalu, namun kenyataannya belum juga direalisasikan.
“Dalam hal ini ada dua perkara yang paling penting, yaitu Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Migas dan UU Pertanahan,” katanya.
“Bola panas ada di sana (Jakarta). Itu harus dipenuhi semua. Tidak ada titik-koma yang bisa ditinggalkan menyangkut MOU Helsinki, yang harus diimplementasikan dalam UU Pemerintahan Aceh,” kata Zaini.
Ketika saya tanya: jika Jakarta tetap ingkar, apakah akan membuat aspirasi Aceh merdeka akan hidup lagi, Zaini berkata: “Saya tidak bicara demikian. Saya bicara ini janji manusia dengan manusia, dengan disaksikan oleh Allah. Tidak ada ingkar (dari Jakarta) dalam hal ini, saya harapkan demikian.”
Kemudian dia melanjutkan: “Kalau (pengingkaran ini) terjadi, akan tercatat dalam sejarah. Generasi depan akan melihat ini apa yang terjadi.”
Dia juga menekankan bahwa kendala terbesar pelaksanaan kesepakatan damai Helsinki adalah sikap Jakarta yang dianggapnya belum mengimplementasikfan perjanjian itu secara optimal.
Alasan Mengapa Syariat Islam
ACEH merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menggunakan hukum Syariah Islam. Zaini Abdullah menjawab pertanyaan seputar latar belakang lahirnya Syariat Islam di Aceh serta pemaknaan atas hukum Islam di wilayah itu.
"Bagi Aceh, soal Islam itu seperti darah di dalam tubuh manusia," kata Zaini, mengutarakan sebuah kalimat yang pernah diutarakan deklarator GAM, Hasan Tiro dan sangat akrab di masyarakat Aceh.
Jadi, "Agama bukan persoalan di Aceh."
Dia kemudian berkata: "Yang perlu agama itu bukan hanya menjadi lips service atau seperti ada di buku-buku, atau Al-Quran dan hadist, tetapi juga harus dipraktekan."
Zaini kemudian mengungkap faktor politik yang disebutnya melatari lahirnya Syariat Islam di Aceh, yaitu ketika Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menawarkan pemberlakuan hukum Islam di Aceh.
"Itu juga ganjil," kata Zaini, seraya mengatakan bahwa tawaran Gus Dur itu sebagai upaya meredam perlawanan GAM yang saat itu sudah di atas angin.
"Itu yang sebenarnya. Maka dipraktekkan sampai sekarang," katanya lagi.
Secara terpisah, wartawan senior dan pengamat sosial-politik Aceh, Nezar Patria mengatakan, walaupun Islam secara kultural sudah mendarah-daging bagi masyarakat Aceh, GAM melalui pimpinannya Hasan Tiro, tidak menggunakan isu Islam sebagai strategi perjuangan.
Menurut Nezar, Hasan Tiro belajar dari pengalaman kegagalan DI/TII yang menggunakan isu Syariat Islam dan tidak mendapat dukungan internasional.
"Lalu dicarilah poin yang bisa membedakan. Kalau memakai Islam, itu poin yang melemahkan perjuangan, karena Indonesia adalah mayoritas Islam dan Aceh adakah bagiannya dan tidak ada penindasan agama. Karena itu isunya kemudian digeser menjadi nasionalisme ke-Aceh-an," kata Nezar, menganalisa.
Karena itulah, lanjut Nezar, pimpinan GAM sejak awal menolak tawaran Jakarta untuk menerapkan Syariat Islam di Aceh, karena memang sudah sejak awal leluhur masyarakat Aceh sudah mempraktikannya.
Sikap ini menurutnya juga ditunjukan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, setelah perjanjian damai RI-GAM, dengan "tidak ditolak (syariat Islam) tetapi tidak diaktifkan."
Tetapi menurutnya, ketika pimpinan GAM, Zaini Abdullah terpilih sebagai gubernur, pemerintah Aceh bersikap hati-hati terkait Syariat Islam.
"Elit-elit GAM ini semuanya berangkat dari tradisi Aceh yang sangat kental dan sangat identik dengan Islam. Tidak akan ada orang Aceh menolak Syariat Islam, tetapi penerapannya atau pelaksanaannya yang mungkin dilakukan dengan hati-hati," kata Nezar.
Ketika akhirnya lahir Qanun Syariat Islam dipraktekan di Aceh, Zaini akhirnya dapat menerima kenyataan itu. "OK saya tidak menafikan yang demikian."
"Kalau tidak, saya akan dituduh tidak pro dengan Islam. Malah saya dianggap gubernur ini anti-Islam," tambahnya.
Hal ini ditekankan Zaini menanggapi pemberitaan yang sebelumnya menyebut warga non-Muslim kemungkinan dapat dikenai aturan hukum Islam. Menurutnya, akibat pemberitaan itu dirinya mendapat pertanyaan dari sejumlah duta besar negara-negara asing.
"Sebab mereka pikir aceh itu jadi momok, jadi hantu. Mereka tidak berani datang (ke Aceh)."
"Saya bilang di Aceh toleransi itu cukup tinggi. (Toleransi) ini kita praktekan bukan karena dicari-vari sekarang. Ini telah ada sejak jaman kesultanan. Sehingga Sultan Aceh bukan hanya berkawan dengan negara Islam, tetapi juga Inggris, Belanda, Kanada, Jerman," ungkapnya menjelaskan. (*BBC)
Komentar
Posting Komentar