Di Brunei Syariat Islam, Di Luar Gatal Meradang!
DI HARI pertama bulan ini, tetangga kita Brunei Darussalam secara resmi memberlakukan hukum pidana syariah Islam. Tak perlu menunggu, negara itu segera menjadi bulan-bulanan.
Di dalam negeri sendiri tak ada gejolak apa pun mengiringi pemberlakuan itu. Bahkan pemimpin Brunei, Sultan Hassanal Bolkiah menyebut hukum yang baru saja diberlakukan itu sebagai ‘prestasi besar’ negaranya.
“Keputusan untuk menerapkan (hukum syariah) tidak untuk senang-senang, melainkan untuk menaati perintah Allah seperti yang tertulis dalam Alquran,”kata Sultan dalam pidato resmi kenegaraan, sehari sebelum penetapan, Rabu (30/04/2014).
Sementara Jaksa Agung Brunei Darussalam Datin Hjh Hayati, membeberkan bahwa hukum syariah Brunei memiliki proses yang ketat dan kompleks, yang layak mendapatkan perhatian dibanding polemik tak mendasar yang ia prediksi akan terjadi.
“Hukuman untuk pembunuhan dalam hukum syariah dan hukum perdata pidana adalah sama, yakni hukuman mati," kata Datin Hjh Hayati dalam satu kuliah umum mengenai hukum syariah di International Convention Centre ( ICC ) Bandar Seri Begawan, tahun 2013 lalu.
Tetapi ia menggarisbawahi satu hal yang sengaja dilupakan penentangnya : hukum syariah memperhitungkan hak-hak korban atau ahli waris korban, termasuk anggota keluarga.
“Di pengadilan syariah, sebelum hukuman dilaksanakan, ahli waris korban bisa memaafkan atau meminta kompensasi (diyat). Pengadilan atau pemerintah tidak bisa campur tangan dalam urusan ini, " kata Datin Hjh Hayati, seperti dilaporkan Brunei Times.
Sejelas apa pun pihak Brunei berargumen, suara itu tak mampu menembus telinga para penentang yang sudah menutup rapat-rapat kuping mereka lebih dulu.
Pada hari undang-undang itu diberlakukan, dengan segera pemerintah Brunei menjadi olok-olok dan hinaan dunia internasional. Terbakar oleh kebencian, Wakil Direktur Human Right Watch untuk Asia, Phil Robertson, mengatakan,” Hal itu merupakan langkah otoriter menuju hukuman abad pertengahan yang brutal dan tidak memiliki tempat di zaman modern abad 21.”
Seolah pernah punya cukup jasa kepada rakyat Brunei, Robertson bahkan menyebut pemberlakuan hukum baru itu sebagai ‘penyalahgunaan HAM, menjijikkan dan tidak bisa dibenarkan’.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun tak kurang hilang akal. Sebelum diberlakukan, April lalu PBB mendesak Brunei untuk menunda perubahan. Alasannya, PBB akan meninjau hukum tersebut untuk memastikan apakah memenuhi standard hak asasi manusia internasional atau tidak.
"Di bawah hukum internasional, merajam orang sampai mati merupakan penyiksaan, tidak manusiawi atau merendahkan orang, dan dengan demikian jelas dilarang," kata Juru Bicara Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Rupert Colville, awal April lalu. Colville menambahkan hukum pidana Brunei itu,”...dapat mendorong kekerasan lebih lanjut dan diskriminasi terhadap perempuan."
Ada dua hal yang secara ganjil dilupakan PBB. Pertama, bukankah hak self-determination, yang juga ditegaskan Piagam PBB, termasuk hak negara-negara di dunia untuk menentukan dengan cara apa dan berhukum kepada undang-undang apa mereka dalam menjalani hidup? Kedua, apa hak PBB untuk memaksakan satu negara menerapkan hukum yang menurut dia baik?
Tak cukup lembaga resmi. Kelompok Human Rights Campaign di Amerika Serikat, yang mendorong persamaan hak lesbian, gay, biseksual, dan transgender, turut mengecam perubahan-perubahan tersebut sebagai kejam. Kelompok itu mengatakan hukuman mati terhadap pelaku hubungan seks sesama jenis di Brunei adalah mengerikan dan menjijikkan.
Tak jelas, apakah rekan sejawat kelompok ini di Indonesia akan menggalang aksi serupa, sementara masyarakat di sini sedang geram-geramnya menyaksikan anak-anak TK di JIS disodomi sedemikian rupa sehingga terancam masa depan mereka. Atau ketika setiap hari koran memuat berita derita seratusan anak korban sodomi di Sukabumi dan berbagai kota lainnya.
Lebih jauh, dengan komando Wali KotaLili Bosse, muncul gerakan boikot dari Dewan Kota Beverly Hillsdi depan Hotel Bel-Air Los Angeles, milik Sultan Brunei. Senabri mengumumkan ‘perang’, mereka meminta Brunei segera menjual hotel tersebut.
“Dewan Kota Beverly Hills mengutuk pemerintah Brunei atas pemberlakuan serangkaian undang-undang yang memberikan hukuman sangat keras, termasuk hukuman mati dengan rajam untuk perzinahan dan homoseksualitas,”tulis sebuah petisi yang dikirim kepada AFP, Rabu (7/5) lalu.
Langkah itu sejalan dengan sikap pemerintah AS, yang segera menulis nota. Negara itu “...menyampaikan keprihatinan kami secara pribadi kepada pemerintah Brunei,” kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri, Jen Psaki.
Tetapi lain dengan para penikmat cahaya matahari di Beverly Hills, negara yang sedang perlu dana itu menyatakan tidak akan mengikuti boikot pertumbuhan jaringan hotel mewah milik Brunei.
Wajar, Los Angeles Times menulis, kedua hotel Sultan Brunei di LA itu mempekerjakan sekitar 1.000 orang. The Beverly Hills Hotel sendiri membayar pajak kamar sekitar 7 juta dolar AS per tahun, dan pajak ke Dewan Kota sebesar 4 juta dolar AS per tahun.
Tetapi tak semua anggota menyetujui langkah Dewan Kota Beverly Hills itu. Sebagian menganggap itu hak Brunei dan warganya. “Kami merasa, individu dan grup bebas membuat keputusan sendiri,” kata seorang anggota Dewan Kota kepada Al Jazeera.
Pemerintah Brunei sendiri bersikap tegas. Sultan mengatakan, ia tidak berharap komunitas internasional menerima aturan tersebut. Namun ia mendesak mereka menghormati keputusan yang dibuat Brunei. Sultan berusia 67 tahun itu menepis anggapan bahwa hukuman itu kejam.
“Teori menyatakan hukum Allah keji dan tidak adil, tapi Allah sendiri mengatakan hukumnya jelas adil,” kata Hasanal Bolkiah.
"Di negara Anda, ada klaim kebebasan berbicara, kebebasabn beragama, dan sebagainya. ...di negara kami, kami menerapkan sistem monarki, islam, dan kami menerapkan syariah Islam. Islam adalah konstitusi kami, identitas nasional kami, hak kami, cara hidup kami."
Menurut alumnus Al-Azhar dan pengamat dunia Islam, Hasibullah Satrawi, penerapan syariat Islam sejatinya menjadi kewajiban setiap Muslim. Tapi bagaimana diterapkan dan seperti apa bentuknya, masih menjadi perbedaan di kalangan para ulama, khususnya terkait persoalan pidana seperti hukum potong tangan, cambuk atau bahkan hukum qishas.
Karena itu, menurut Hasib, dalam era negara bangsa wajar bila ada perbedaan penerapan hukum di negara-negara bermayoritas warga Islam.
“Semua negara mempunyai hak kemerdekaan dan kedaulatannya sendiri, termasuk bila suatu negara harus menerapkan syariat Islam yang masih bersifat debatibel (khilafiyah) sebagai undang-undang.” Ia memandang aneh orang luar yang mencampuri persoalan internal suatu negara.
Sementara peneliti senior Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), Zaim Saidi, memaklumi apa yang dilakukan Sultan Brunei. Menurut Zaim, penerapansyariat Islamtidak memerlukan keputusan parlemen dengan undang-undang, tapi melalui titah seorang ulil amri, yaitu seorang sultan, didampingi Dewan Shura.
“Sebagai ulil amri, Sultan Bolkiah dan rakyat Brunei mencontohkan kepada kita jalan kembali dan cara menegakkan syariat Islam,” kata Zaim.
Atau mungkin saja hanya karena Sultan Bolkiah sebal pada Alexis de Tocqueville, negarawan Prancis yang sangat terpesona oleh AS. Dalam Democracy in America, De Tocqueville berpendapat, Islam tak akan mampu bertahan lama dalam era modern, justru karena Islam punya ajaran yang total.
“Alquran bukan hanya doktrin agama,” kata dia, “Tapi juga petunjuk politik, hukum pidana, hukum perdata, dan teori ilmu.” Siapa tahu?
(*sumber:inilahcom)
Komentar
Posting Komentar