Mahmud Abbas dan Anaknya Beda Pandang Soal Negara Palestina
Generasi muda Palestina dikabarkan semakin frustasi. Mereka memandang negara-negara sahabat -- baik yang tergabung dalam Liga Arab, Kerja Sama Teluk, Organisasi Kerja Sama Islam, Non-Blok ataupun lainnya -- tidak bisa lagi diandalkan. Para pemimpin negara-negara tersebut kini lebih disibukkan masalah dalam negeri masing-masing.
Bahkan pemerintah Mesir kini menutup perbatasan Rafah yang merupakan akses satu-satunya warga Gaza terhadap dunia luar. Sebelumnya, ketika Ikhwanul Muslimin berkuasa, perbatasan Mesir-Gaza ini sempat dibuka bebas. Sementara itu, Amerika Serikat yang menjadi fasilitator perundingan lebih sering menekan pihak Palestina dan membela Israel.
Di dalam negeri, mereka melihat apa yang diperjuangan para politisi senior lewat manuver politik selama bertahun-tahun tanpa banyak hasil. Sedangkan untuk berjuang mengangkat senjata seperti halnya Perang Intifada (1987-1991) juga dipandang tidak banyak hasilnya. Militer Israel yang didukung AS terlalu kuat bila hanya dilawan pejuang Palestina dengan persenjataan seadanya.
Karena itulah barangkali bisa dipahami bila generasi muda Palestina kini semakin frustasi terhadap negara mereka yang merdeka dan berdaulat. Frustasi yang, mengutip media Al Sharq Al Awsat (20/03), menjadikan mereka bersikap lebih pragmatis. Lebih membumi dan tidak mengawang di langit.
Ini tentu berbeda dengan pandangan generasi tua Palestina yang merupakan para mantan aktivis dan pendiri organisasi-organisasi perlawanan seperti PLO (Palestine Liberation Organization) dan Hamas.
Untuk menggambarkan beda pendapat antar-dua generasi Palestina ini berikut saya kutip pandangan dua orang bapak dan anak, yaitu Mahmud Abbas dan Tariq Abbas. Mahmud Abbas, 78 tahun, adalah pendiri – bersama almarhum Yasir Arafat -- PLO/Fatah, dan kini Presiden Palestina. Sedangkan Tariq Abbas, 48 tahun, pebisnis di Ramallah, Tepi Barat.
Selama sepekan di Washington, AS, pekan lalu, Abbas sang bapak diingatkan – oleh AS tentunya --sekarang merupakan peluang terakhir mewujudkan dua negara (Palestina dan Israel) lewat perundingan dengan Israel. Di Ramallah, Abbas si anak, menyatakan peluang terakhir itu sudah hilang sejak lama. Menurutnya, berbagai perundingan selama ini telah gagal mewujudkan Negara Palestina merdeka dan berdaulat.
Abbas si anak barangkali bisa mewakili pandangan generasi muda Palestina sekarang ini. Mereka tidak tertarik politik atau mengangkat senjata. Mereka hanya ingin hidup tenang. Karena itu, tidak masalah bagi mereka bila harus hidup dalam satu negara yang luasnya dari Sungai Yordania hingga Laut Tengah. Penduduknya mencakup Yahudi dan Arab dengan hak dan kewajiban yang sama. Ia berkeyakinan Israel tidak akan rela terbentuknya dua negara.
Dalam wawancara di Ramallah, saat ayahnya di Washington, Tariq menegaskan, ‘’Bila kalian tidak mau memberikan kepada kami kemerdekaan, minimal berilah kami hak-hak sipil (civil society). Inilah cara mudah dan tanpa kekerasan. Saya tidak mau membenci atau membunuh seseorang. Saya hanya ingin negara yang berdasarkan undang-undang.
’’Bulan lalu, dalam sebuah wawancara di Ramallah, Mahmud Abbas menuturkan, pembangunan permukiman yang terus dilakukan pemerintah Israel menjadikan anaknya yakin penyelesaian dua negara akan sulit diwujudkan. ‘’Saya mengatakan, ‘Hati-hati anakku. Kita sedang berusaha untuk mencapai penyelesaian dua negara. Inilah penyelesaian satu-satunya.’ Namun, ia (Tariq) menjawab, ‘’Mana negaramu itu? Saya sudah keliling ke mana-mana, dan melihat permukiman Yahudi ada di setiap tempat’.’’
Abbas sang bapak menambahkan, ‘’Saya katakan kepada anak saya, ‘Silakan, itu adalah pendapat kamu. Namun, kita tidak akan hidup dalam satu negara (bersama warga Yahudi).’ Ia cepat menjawab, ‘’Ayah silakan punya pendapat dan saya juga punya hak untuk mengatakan pendapat saya.’ Anak saya berpandangan seperti itu karena sudah frustasi. Ia melihat tidak ada kemungkinan penyelesaian dua negara di masa mendatang. ‘’
Masih mengutip Al Sharq Al Awsat, diskusi seperti di atas kini menjadi umum di antara para warga di rumah-rumah, kafe, dan tempat umum lainnya di Tepi Barat. Anak-anak dan para cucu mantan aktivis pendiri organisasi-organisasi perlawanan mulai meragukan tujuan dan cara perjuangan yang ditempuh oleh ayah maupun kakek mereka.
Dalam jajak pendapat oleh Lembaga Al Markaz Al Falestini lil Bukhuts Al Siyasiyah pada Desember tahu lalu memperlihatkan 65 persen warga Palestina berusia lebih dari 50 tahun mendukung penyelesaian dua negara, berbanding 47 persen mereka yang berusia antara 18-34 tahun.
Menurut direktur eksekutif lembaga tersebut, Khalil Al Syaqaqy, sekitar sepertiga warga Palestina menyatakan keinginan mereka terhadap penyelesaian satu negara. Namun, jumlah itu lebih banyak untuk mereka yang di bawah 45 tahun. Mereka tidak lagi menuntut penyelesaian dua negara.
Al Syaqaqy, 60 tahun, menambahkan, generasi muda menganggap generasi tua telah gagal dan harus meninggalkan arena politik, berikut penyelesaian dua negara. Yang terakhir ini merupakan hasil Perundingan Oslo antara Palestina dan Israel pada 1993.
Menurutnya, pandangan generasi tua terbentuk dari pengalaman sebagai aktivis dan perjuangan bersenjata. Sedangkan pandangan generasi muda dipengaruhi oleh kegagalan merealisasikan Kesepakatan Oslo dan bobroknya birokrasi Otoritas Palestina.
Juga berkembangnya internet dan media sosial. ‘’Kami menuntut kemerdekaan dan kedaulatan sedangkan generasi muda menuntut kesamaan hak dan kewajiban.’’Pertanyaannya, apa dan bagaimana penyelesaian satu negara tersebut? Apakah, misalnya, negara itu bernama Israel atau Palestina? Atau penggabungan dari dua negara tersebut? Lalu bagaimana sistem kenegaraan dan pemerintahannya?
Tariq Abbas maupun generasi muda lain yang disurvei oleh lembaganya Al Syaqaqy belum mempunyai gambaran pasti. Yang jelas mereka tidak khawatir dengan penyelesaian satu negara. Jumlah warga Palestina yang hidup di wilayah antara Sungai Yordania dan Laut Tengah lebih banyak dari warga Israel sendiri. Ini belum termasuk jutaan warga Palestina yang kini mengungsi dan tingkat kelahiran yang sangat tinggi.
Tentu tidak mudah mewujudkan satu negara yang dihuni warga Yahudi dan Palestina secara bersamaan, yang selama ini sudah mempunyai identitas masing-masing sebagai bangsa. Puluhan tahun kedua bangsa ini sudah menganggap antara satu dan lainnya sebagai musuh bebuyutan. Namun, pandangan generasi muda Palestina juga patut disimak. Mereka merupakan generasi penerus yang akan menentukan Negara Palestina ke depan.
Penulis: Ikhwanul Kiram Mashuri
Komentar
Posting Komentar