Hari Ini, Mesir Gelar Referendum Konstitusi
Rezim Mesir yang didukung militer menggelar referendum konstitusi, Selasa (14/1/2014). Pemungutan suara pertama sejak militer menggulingkan Presiden Muhammad Mursi ini cenderung memberikan peluang penyerahan kursi kepresidenan Mesir kepada kepala militer Jenderal Abdel Fattah al-Sisi.
Sisi memimpin penggulingan Mursi, presiden pertama Mesir yang dipilih melalui pemilu bebas, pada Juli 2013. Kalangan yang berseberangan dengan Sisi menyebutnya sebagai dalang kudeta yang diikuti dengan krisis politik terburuk Mesir dalam sejarah modern Mesir.
Namun, referendum digelar di tengah banyak warga Mesir yang sudah lelah melihat konflik politik dan kehancuran ekonomi, yang bermula sejak 2011 ketika rakyat Mesir menggulingkan penguasa otoriter Hosni Mubarak. Kondisi ini diperkirakan akan memaksa rakyat memberikan mandat kepada Sisi.
Pendapat ini menggambarkan pandangan umum rakyat Mesir hari ini, meskipun bila dia terpilih, demokrasi yang bergulir sejak kejatuhan Mubarak akan tercoreng. Referendum ini akan menjadi jajak pendapat ketiga, dengan enam kali warga memberikan suara, untuk perubahan konstitusi sejak revolusi yang menjatuhkan Mubarak pada Januari 2011.
Konstitusi sebelumnya sudah diganti dan disahkan oleh Mursi pada 2013, juga lewat referendum. Sekutu Mesir berharap referendum kali ini akan membawa situasi politik yang lebih baik, tiga tahun setelah "Arab Spring" yang membawa gelombang demokrasi di Timur Tengah.
Draf konstitusi Sangat Cacat
Apa pun hasil referendum hari ini, akan berdampak pada Timur Tengah, mengingat posisi Mesir yang masih sangat berpengaruh di kawasan tersebut. Gejolak politik telah menghancurkan perekonomian Mesir.
Namun, Ikhwanul Muslimin dan para simpatisan pendukung Mursi menyerukan gerakan boikot atas referendum ini, tidak semata menjawab "tidak" untuk referendum yang akan mengembalikan rezim militer ke negara itu.
International Commission of Jurists (ICJ), kelompok yang berbasis di Geneva dan bekerja untuk supremasi hukum, menyebut rancangan konstitusi yang diajukan melalui referendum ini sangat cacat.
"Kampanye referendum dilakukan dalam konteks ketakutan, intimidasi, dan represi. Karenanya, kewajaran dari seluruh proses menjadi pertanyaan," kata lembaga ini dalam sebuah pernyataan.
Pemerintahan sementara Mesir menjanjikan referendum ini sebagai langkah pemulihan demokrasi, bersamaan dengan tindakan keras yang mereka lakukan pada Ikhwanul Muslimin yang adalah organisasi paling terorganisasi di Mesir hingga akhir tahun lalu.
Pada 25 Desember 2013, pemerintah sementara Mesir mengumumkan Ikhwanul Muslimin mereka nyatakan sebagai organisasi teroris.
Pemilihan presiden direncanakan akan berlangsung pada April 2014, bila referendum ini disetujui mayoritas rakyat Mesir yang mau mengikutinya. Transisi politik Mesir terus menghadapi tantangan, termasuk dari kelompok milisi yang meningkatkan serangan terhadap pasukan keamanan Mesir.
Ikhwanul Muslimin terus menggelar aksi damai untuk menurunkan pemerintah dan backing militer di belakangnya.
Pasukan keamanan menghadapi aksi damai tersebut dengan kekerasan bahkan senjata, menewaskan ratusan orang dan ribuan anggota Ikhwanul Muslimin ditangkap. Mursi dan pimpinan tinggi organisasi persaudaraan itu pun sudah ditangkap dan diajukan ke persidangan.
Pejabat dari pemerintah sementara Mesir menyatakan revisi konstitusi sebagai tanda yang jelas bagi kemajuan demokrasi.
Namun, kelompok hak asasi manusia menyikapinya dengan skeptis. Human Rights Watch menyatakan keprihatinan atas laporan tujuh aktivis dari Partai Strong Mesir dikenakan tuduhan pidana setelah memasang spanduk "No" untuk referendum.
"Warga Mesir harus bebas memilih atau menentang konstitusi baru, tidak takut penangkapan hanya untuk kampanye 'No'," kata Joe Stork, Wakil Direktur Timur Tengah dan Afrika Utara dari Human Rights Watch. "Melindungi hak pilih butuh penjagaan atas hak kebebasan berekspresi."
Sumber: Reuters/Kompas
Komentar
Posting Komentar